INDONESIA diperkirakan masih kesulitan mengakselerasi pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT).
Beban masa lalu membuat upaya mengurangi pemakaian pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang berasal dari batu bara tidaklah mudah.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengungkapkan, dengan adanya program pembangkit listrik berkapasitas 35 gigawatt (Gw) dari PLN yang telah memasuki masa konstruksi, tidak mudah untuk memensiunkan PLTU batu bara.
“Di Indonesia tantangan hari ini adalah akselerasi EBT belum terjadi karena masih punya beban pada program 35 Gw. Akibat salah memproyeksikan pertumbuhan listrik, sekarang terjadi over capacity,” ujarnya dalam Webinar Energy Summit 2022 yang diselenggarakan Media Group Network (MGN), Selasa (31/5).
Penyelesaian proyek 35 Gw ditargetkan selesai sebelum 2030. Di sisi lain, pemerintah bertekad agar PLTU batu bara mulai early retire atau pensiun dini dari 2030 hingga 2050.
Keinginan itu juga telah diutarakan pemerintah Indonesia pada saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim Ke-26 di Glasgow, Skotlandia, atau COP26 tahun lalu, sebagai ambisi mencapai netralitas karbon di 2060.
“Indonesia memang dalam posisi tidak mudah karena ada ketergantungan fosil. Tapi saya kira dengan satu tekad, dengan perencanaan matang, ini bisa dilakukan (pensiunkan PLTU),” tambahnya.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto berpendapat, memensiunkan PLTU batu bara akan menelan anggaran yang besar, termasuk biaya kompensasi dan pengalihan pembangkit ke energi terbarukan.
“Kalau (PLTU) shut down saat ini banyak persoalan. Negara harus bayar kompensasi, lalu ada biaya yang diperlukan untuk membangun pembangkit yang menjadi penggantinya itu,” ucapnya.
Saat ini, kapasitas listrik yang terpasang mencapai 63 Gw, dengan 60% dipasok dari PLTU batu bara. Karena itu, tidak mudah bagi pemerintah memensiunkan pembangkit fosil tersebut.
“PLN sudah kadung memutuskan (untuk menjalankan) program 35 Gw. Lantas di sisi lain kita harus memenuhi target EBT. Ini memang dilematis,” kata politikus Partai NasDem itu.
Meski demikian, terus dilakukan upaya untuk mengurangi peng gunaan pembangkit yang menggunakan energi fosil seperti batu bara dan diesel yang berdam pak pada emisi dengan polusi yang tinggi.
Selain itu, PLN dikatakan mengeluarkan biaya hingga Rp23 triliun untuk membeli bahan bakar minyak (BBM) guna menyuplai bahan bakar pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) sebesar 2,4 Gw. Hal ini menjadi perhatian DPR agar pemerintah mengurangi pemakaian energi fosil.
“Ini sebagian besar ada di daerah remote atau pulau terjauh. Fakta lainnya diesel juga menggerogoti keuangan PLN. Ini harus di ganti dengan EBT,” tegasnya.