Akhir-akhir ini topik ganja medis marak di Indonesia gegara seorang Ibu Santi Warastuti datang ke car free day sambil membawa tulisan: Tolong Anakku Butuh Ganja Medis. Seketika semua lapisan masyarakat langsung mengamati adakah bukti kebenaran ganja bisa jadi obat untuk cerebral palsy. Di Amerika Serikat (AS), ganja yang dulu digunakan sebagai obat mengalami dekriminalisasi dan digolongkan jadi narkotik golongan 1. Seiring waktu, hampir semua negara bagian AS sudah legalkan ganja terutama untuk medis. WHO pun mengeluarkan ganja dari golongan narkotik. Bagi sebagian besar dokter yang gunakan obat farmasi sebagai senjata melawan penyakit, tentu tidak mengenal ganja sebagai obat. Namun, US FDA melegalkan ganja sintetik sebagai obat. Mengapa yang berbahan alami tidak bisa dilegalkan?
Ganja dipahami sebagai bahan haram karena membuat orang yang mengonsumsi merasa high atau fly. Benarkah semua ganja itu sama? Ada pohon hemp yang menghasilkan komponen ganja CBD atau cannabidiol dan ada pohon marijuana yang menghasilkan THC/ Tetrahidrocannabinol yang bila dibakar bisa sebabkan high atau fly tadi.
Sistem Endocannabinoid menemukan adanya receptor CB1 yang bekerja lebih banyak di otak dan receptor CB2 yang bekerja lebih banyak pada sistem imun. Tubuh manusia yang sehat memiliki keseimbangan Sistem Endocannabinoid sehingga mengalami homeostasis atau keseimbangan. Dalam keadaan homeostasis, tubuh mengeluarkan zat mirip cannabis dari dalam tubuh sendiri (endogen). Jadi zat mirip cannabis sebenarnya bisa dihasilkan dari tubuh yang sehat. Sebaliknya, jika terjadi ketidakseimbangan sistem endocannabinoid, tubuh mengalami defisiensi. Ini layaknya defisiensi nutrisi, tubuh akan membaca cannabis sebagai zat antioksidan, antiinflammasi alami, bahkan anti konvulsan (antikejang), antinyeri, peningkat sistem imun. Spektrum cannabis begitu luas, dan receptor cannabis bekerja pada banyak bagian tubuh sehingga banyak penyakit bisa diatasi dengan memanfaatkan kecanggihan keseimbangan Sistem Endocannabinoid ini. Mengapa risau ganja medis dilegalkan? Semua orang ketakutan efek ketergantungannya. Ganja baru bisa bikin fly bila dibakar seperti rokok dari kandungan THC, sedangkan bila dipakai untuk pengobatan ternyata ekstrak minyak ganja tidak menyebabkan ketagihan. Derajat ketergantungan ganja ada di bawah tembakau, ganja medis memang mungkin layak dilegalkan di Indonesia. Tembakau yang derajat ketergantungan lebih tinggi, sudah lama legal dan tidak dipakai untuk medis, dan morfin yang jelas narkotik sudah lama legal dipakai sebagai obat. Keunikan ganja karena spektrum cannabis menghasilkan beragam isolat yang bermanfaat untuk banyak penyakit, maka dugaan dilegalkan ganja medis mungkin saja menumbangkan posisi obat farmasi tertentu yang diresepkan banyak dokter. Tren kembali ke pengobatan alami disukai karena pemakaian obat farmasi berisiko untuk jangka panjang, sementara ganja dianggap lebih aman dan tidak ada kematian akibat ganja. Akhirnnya hanya riset yang bisa buktikan manfaat dan mudharat ganja medis. Welcome to the truth of functional medicine, ilmu kedokteran yang mencari root of cause dari tiap penyakit. Siapa tau kelak Indonesia bisa jadi pusat terapi ganja medis di dunia karena ganja adalah tanaman asli Indonesia, sebagaimana Thailand sudah legalkan ganja dan menjadikan....