SEBAGAI aktivis muda Pelajar Islam Indonesia (PII), ibu saya berkesempatan mengikuti program pertukaran pelajar SMA di Amerika Serikat pada 1960-an. Selama tinggal bersama keluarga Amerika, ia menyaksikan gerakan hak sipil yang sedang begitu menggelora meski plakat 'Hanya untuk Kulit Putih' masih terdapat di beberapa restoran. Pengalaman itu membentuk pandangannya tentang keadilan dan keberagaman.
Puluhan tahun kemudian saya mengikuti jejaknya, tinggal bersama keluarga minoritas Meksiko-Amerika di Twin Falls, Idaho, selama setahun. Bersekolah di sekolah Amerika dan menjalin persahabatan menjadi babak tak terlupakan dalam hidup saya. Itu dimungkinkan karena upaya Amerika menjangkau dunia, menyebarkan cita-cita demokrasi melalui pendidikan, warisan yang kini sedang tergerus oleh pergeseran ideol....