OPINI

Dana Zakat: Bukan Keuangan Negara atau Publik

Rab, 29 Mei 2024

JUDUL tulisan di atas dibuat panitia Baznas Development Forum kerja sama antara Baznas (Badan Amil Zakat Nasional Pusat) dan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo Semarang, 14 Mei 2024. Hemat saya judul di atas dua-duanya tidak bisa diterima secara keseluruhan, tetapi si pembuat tema ingin mengusik dan sekaligus ingin mendapatkan kepastian jawaban melalui forum tersebut. Saya mendapat kehormatan menjadi salah satu pemateri dalam seminar tersebut.

Ada banyak alasan baik secara akademik maupun teologis untuk menegaskan pemilik dana zakat. Pertama, redaksi dalam QS At-Taubah:60, “innama sh-shadaqat li l-fuqara’ wa l-masakin wa l-‘amilina ‘alaiha …” artinya 'sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah (milik) untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mualaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah, dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana'. Diksi dalam bahasa Arab innama oleh para ulama dipahami sebagai adatu l-hashr dan digunakan lam pada kata li l-fuqara’ ialah lam li t-tamlik, yang menunjukkan kepemilikan.

Kedua, para ulama seperti Yusuf al-Qaradhawy dan Wahbah az-Zuhaili yang mengkaji secara mendalam zakat, ketika membahas siapa pemilik dana zakat (man hum mustahiqqun), sepakat bahwa pemilik dana zakat ialah delapan ashnaf, yakni 1) faqir (fuqara’), 2) miskin (masakin), 3) ‘amil (pengelola) zakat, 4) para mualaf, 5) untuk memerdekakan budak, 6) orang-orang yang berutang, 7) untuk mereka yang berjuang di jalan Allah, dan 8) mereka yang dalam perjalanan (yang kehabisan bekal). Para ulama sepakat bahwa dana zakat harus segera didistribusikan kepada mereka, sesuai dengan skala prioritas karena penyebutan urutan pada QS At-Taubah ayat 60 ....

Belum selesai membaca berita ini ? Selesaikan dengan berlangganan disini Berlangganan

Advertisement

Advertisement