“Seperti angin kencang yang meniup daun kering hingga berguguran,
Seperti arus sungai menghanyutkan kayu dengan cepat,
Seperti sebuah jarum menarik benang melalui sebuah kain,
Maka kami pun akan pergi, dengan perintahmu, Ya Tuan,
Untuk menghadapi para musuh.
Bersabdalah, maka akan kami patuhi!
Dan bila kami tidak pergi dengan perintahmu,
Biarlah generasi yang akan datang tahu,
Bahwa tubuh kami tidak layak untuk dikubur.”
Penggalan kalimat di atas merupakan bait sumpah setia yang dilantunkan Panglima Perang Kerajaan Makassar (Gowa-Tallo). Syair sakral tersebut dinyatakan di hadapan raja sebelum berangkat ke medan perang. Peristiwa yang menjadi ritual wajib panglima perang ini dikenal dengan sebutan tradisi Aru Tubarani. Di balik itu, tradisi ini menyimpan banyak peristiwa dan narasi besar mengenai kedigdayaan Kerajaan Makassar di masa lampau. Tradisi inilah yang menjadi spirit Kerajaan Makassar sehingga menjadi adikuasa di bagian timur Nusantara pada abad XVI-XVII.
Kini, di era modern tradisi Aru Tubarani masih dijumpai dengan bentuk komodifikasi atau sajian populer yang mengikuti kebutuhan pertunjukan kesenian masyarakat Makassar. Masyarakat Makassar atau yang terkenal dengan sebutan Tu Mangkasara adalah panggilan bagi suku Makassar yang berarti orang Makassar. Kelompok etnis ini umumnya bermukim di bagian pesisir selatan pulau Sulawesi. Pesebarannya dapat ditemukan di Kota Makassar, Kabupaten Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng,
Selayar, sebagian di Pangkajene, Maros, dan Bulukumba. Bahasa Makassar memiliki beberapa dialek, antara lain dialek Lakiung, Turatea, Bantaeng, dan Konjo (pesisir dan agraris). Seluruh daerah ini sampai sekarang disebut juga disebut dengan Pa’rasanganna Mangkasa....