PERPUSTAKAAN konvensional identik dengan banyaknya koleksi buku yang menjadi sumber referensi bagi pembaca, penulis, peneliti, dan ilmuwan lainnya. Bagi suatu bangsa, perpustakaan berperan penting dalam meningkatkan indeks literasi.
Jumlah perpusatakaan yang banyak dengan koleksi memadai akan mendorong minat membaca pada suatu komunitas masyarakat sehingga akan melahirkan ge nerasi berpengetahuan.
Fungsi perpustakaan yang vital tersebut menjadikannya sebagai unsur penting dalam membangun sumber daya manusia (SDM) bangsa.
Tak heran, di setiap institusi mu lai lembaga pendidikan, pemerintahan, hingga pada organisasi masyarakat, ruang perpustakaan biasanya ada.
Seiring dengan perkembangan zaman, hadirnya teknologi informasi dan komunikasi sebagai sum ber rujukan tidak lagi terbatas pada ruang fisik. Kini perpustakaan yang memiliki banyak koleksi buku bukan menjadi satu-satunya akses ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan bisa didapat dari cara-cara nonkovensional sehingga wajar jika perpustakaan yang ada saat ini diarahkan untuk terus bertransformasi ke bentuk digital yang konon lebih mudah di akses, sembari tetap memperta hankan bentuk fisiknya. Ini sebuah peluang untuk memudahkan menambah akses ke ilmu dan pengetahuan sekaligus tantangan yang tidak mudah.
Kepala Perpustakaan Nasional (Perpusnas) Muhammad Syarif Bando mengatakan lazimnya per pustakaan, baik fi sik maupun digital, merupakan komponen pen ting dalam pembangunan SDM. Sebagai negara dengan penduduk terbesar ke-4 dan tingkat pendidikan masyarakat yang ma sih tergolong rendah, perpustakaan harus mengambil peran penting tadi.
“Dengan total sekitar 270 juta jiwa sangat disayangkan hanya 10% penduduk yang berijazah dari perguruan tinggi. Ada 90% penduduk Indonesia dengan latar belakang pendidikan SMA, SMP, SD, dan tidak tamat,” ungkapnya dalam sebuah webinar, baru-baru ini yang diselenggarakan oleh Masyarakat Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Dengan kondisi 90% penduduk Indonesia yang terjun ke masyarakat tanpa bekal pendidikan sarjana, keberadaan perpustakaan umum ialah solusi terakhir meningkatkan SDM lewat literasi.
“Ini mengingatkan kita akan Manifesto Unesco/IFLA (1994) bahwa bangku terakhir bagi orang yang telah lepas dari sekolah ialah perpustakaan umum,” imbuhnya.
Dengan demikian, kata Syarif, dalam UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, urusan perpustakaan menjadi komponen wajib. Pemerintah baik daerah dan pusat harus memberi akses perpustakaan kepada masyarakatnya.
Jika menilik negara maju atau negara-negara yang tengah memperjuangkan peningkatan SDM seperti India, fasilitas perpustakaannya sangat memadai. Dari sini India diyakini akan mengikuti jejak Tiongkok dengan mendeklarasikan sebagai negara yang memiliki SDM IT terbanyak di dunia.
Negara-negara Eropa yang sudah duluan maju pun tidak terlepas dari perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat. Fasilitas perpustakaannya tidak perlu diragukan lagi.
Syarif mengatakan bahwa saat ini perpustakaan di Indonesia me mang mulai mengalami perubahan. Pihaknya menekankan perubahan pada paradigma lama bahwa perpustakaan bukan sekadar ruang koleksi, tetapi lebih ke transfer pengetahuan.
Memang banyak tantangan yang masih menjadi pekerjaan ru mah seperti kurangnya buku dan perpustakaan umum. Rasio buku nasional ialah 1 buku untuk 9 orang, sementara standar Unesco ialah 3 buku baru setiap orang per tahun.
Peluang besar untuk memanfaatkan kemajuan teknologi segera ditangkap Perpusnas dengan terus melakukan transformasi ke digital. Dengan aplikasi digital Indonesia One Search (IOS) kini ada sekitar 2.500 perpustakaan dan 3,4 miliar artikel bisa diakses untuk umum.
Perpusnas juga sudah membangun Khastara (khasanah pustaka Nusantara) dengan kurang lebih 1 juta manuskrip kuno ada di sana dan setiap orang bisa membaca gratis melalui mobile phone.
Perpustakaan digital merupakan perkembangan lebih lanjut dari perpustakaan konvensional. Selanjutnya ada perpustakaan elektronik, perpustakaan hibrida, lalu perpustakaan digital.
“Mungkin suatu ketika kita akan menyaksikan perpustakaan virtual,” papar Guru Besar Ilmu Perpustakaan, Fakultas Ilmu Penge tahuan Budaya Universitas Indonesia (UI) Sulistyo Basuki.
Sejak eksis pada 1990-an lantaran hadirnya internet, jelas Sulistyo, berbagai pihak dengan latar belakang berbeda sudah terlibat dalam pembentukan perpustakaan digital. Ada dua pandangan tentang perpustakaan digital.
Pertama menganggap perpustakaan digital sebagai koleksi terkelola dari informasi digital de ngan jasanya serta akses melalui jaringan. Pandangan tersebut umumnya berasal dari mereka yang berlatar belakang ilmu komputer.
“Pandangan kedua melihat perpustakaan seperti pandangan pertama, tetapi ditambah organisa si yang menyediakan sumber daya untuk digunakan pemakai. Pandangan kedua ini lebih bersifat organisasional,” kata dia.
Hingga sekarang, perpustakaan digital masih berlanjut dengan orientasi ganda itu.
Namun, tujuan dan fungsinya, perpustakaan dapat disebut sebagai suatu sistem sosial. Karena itu, perpustakaan yang ada saat ini masih terus dikembangkan. Ha silnya perpustakaan digital muncul dalam berbagai bentuk dan bersifat interdispliner setelah mengalami transformasi di berbagai bidang.