LANANG (bukan nama sebenarnya) gelisah. “Tiba-tiba” saja timbul borok kecil pada kemaluannya. Tidak terasa sakit. Tidak pula gatal. Betapa kaget dan khawatirnya lelaki 25 tahun itu ketika dokter memvonisnya terpapar sifilis, penyakit menular seksual (PMS). Lanang tidak sendiri. Terjadi lonjakan insiden sifilis pada gen Z, merujuk data Kementerian Kesehatan, lebih dari 23 ribu kasus telah dilaporkan pada tahun 2024.
Sejatinya PMS bukan hanya sifilis. Beragam penyakit infeksi lainnya dapat ditularkan melalui kontak seksual. Jika terjadi lonjakan kasus sifilis, bisa diartikan terjadi pula peningkatan PMS lainnya. Sebab, pada individu tertentu (terutama yang sering berganti pasangan seks), PMS sering kali tidak tunggal. Biasanya terjadi bersamaan dengan PMS lainnya (ko-infeksi). Persoalannya, PMS ibarat fenomena gunung es. Kasus yang terkonfirmasi, hanya merupakan puncak kecil dari kejadian yang jauh lebih besar, contohnya sifilis. PMS yang disebut juga sebagai “raja singa” itu, terdiri dari empat fase. Setiap tahap, menampilkan gejala yang bervariasi. Bahkan tidak jarang, tanpa menimbulkan gejala hingga bertahun-tahun. Oleh karena itulah, sifilis dikenal sebagai “peniru ulung”. Pada kasus yang menimpa Lanang, borok kemerahan itu disebut chancre. Gambarannya “khas” terjadi pada fase satu/primer. Lesi yang rata-rata berukuran 0,3-3,0 cm itu, umumnya baru muncul setelah 10-90 hari tertular dari pasangan seksualnya.
Infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus), memiliki pola fenomena gunung es yang serupa dengan sifilis. Banyak kasus HIV tidak terdeteksi, hingga memasuki fase AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome). Periode transisinya bisa berlangsung bertahun-tahun. AIDS merepresentasikan terjadinya degradasi sistem imun. Pengidapnya rentan terpapar mikroba jenis apa pun. Bahkan, terhadap mikroba yang tadinya bersifat komensal/tidak berbahaya. Gambaran itulah yang dikenal sebagai infeksi oportunistik dan potensial menyebabkan kematian. Hingga Maret 2023, tercatat 522.687 orang de....