DALAM beberapa waktu terakhir, terutama selama proses Pemilu 2024, Presiden melalui kekuasaannya telah menabrak banyak aturan dan etika. Karena itu, hasil pemilu yang diawali dengan pelanggaran aturan dan etika harus digugat.
Narasi itu yang melandasi para guru besar dari berbagai universitas serta mahasiswa bersiap turun ke jalan sebelum hari pengumuman hasil pemilu, Rabu (20/3). Gerakan yang diinisiasi Universitas Indonesia (UI), Institut Pertanian Bogor (IPB), STF Driyarkara, Universitas Negeri Jakarta (UNJ), dan STH Jentera itu akan menggugat hasil pemilu serta menuntut agar pemerintah mengembalikan hak demokrasi warga.
Guru Besar UI Sulistyowati Irianto menyampaikan, sebagai perwakilan para ilmuwan dan guru besar, dirinya memikul beban moral atas semua kekacauan yang terjadi. Karena itu, ia ingin mengajak guru besar dan mahasiswa dari universitas lain untuk melakukan gerakan yang masif untuk melawan pemerintahan yang telah merusak demokrasi di Indonesia.
“Kami memegang teguh kebebasan akademik dan otonomi keilmuan saat menjalankan fungsi utama ilmu pengetahuan serta tidak bicara atau berjuang di atas kepentingan kekuasaan dan uang. Kami bersuara sebagai gerakan moral dan intelektual,” kata dia dalam Temu Ilmiah Universitas Se-Jabodetabek di Kampus UI, Salemba, Jakarta, kemarin.
Senada, akademisi UNJ Ubedilah Badrun menyerukan reformasi hukum, khususnya produk undang-undang yang terkait dengan politik dan pemilu. Dia menilai pemilu tahun ini telah mengabaikan kedaulatan rakyat dan hanya mengakomodasi kepentingan segelintir orang atau oligarki.
Dia juga mendesak agar anggota parlemen segera menjalankan fungsi mereka dan mendengarkan suara rakyat. Hak angket yang selama ini dinanti-nanti, kata Ubedilah, harus segera digulirkan. “Parlemen mesti segera bekerja menjalankan fungsi mereka, menyuarakan suara rakyat, melakukan penyelidikan terbuka terhadap penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan eksekutif agar dapat dipertanggungjawabkan,” ujarnya.
Dari Yogyakarta, Rektor UII Fathul Wahid mendorong partai politik menggunakan hak angket dan mencari langkah politik dan hukum yang lain sebagai penghukuman terhadap pemerintahan yang terbukti mengkhianati Reformasi 1998. Ia juga menyeru kepada aktivis masyarakat sipil melakukan pembangkangan sipil dan menolak menjadi bagian dari kekuasaan yang direbut dengan cara penuh muslihat, tunaetika, dan culas.
“Secara khusus kami menyerukan kepada tokoh kritis nasional untuk bersatu membuat oposisi permanen melawan rezim politik dinasti yang telah menjadi predator demokrasi Indonesia,” tegasnya.
Harus ngotot
Terkait dengan hak angket, Direktur Eksekutif Political and Public Policy Studies Jerry Massie menilai fraksi-fraksi di DPR perlu ngotot untuk menggulirkannya. Ia mengingatkan jangan sampai isu hak angket kadung meluas, tetapi tidak ada tindak lanjut yang serius.
“Kalau hanya satu partai yang benar-benar fight, otomatis ini (hak angket) tidak akan bertahan dan mentok di isu,” ujar Jerry, kemarin.
“Hak angket (diusulkan) lebih dari satu fraksi dan 25 orang saja sudah jalan itu barang, tetapi sekarang masih tunggumenunggu,” sambungnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Baleg DPR Fraksi PPP Achmad Baidowi berkukuh partainya bakal bersikap soal hak angket setelah penetapan Pemilu 2024.
“Soal hak angket belum. Seperti janji kami, PPP akan bersikap setelah nanti 20 Maret. Kita masih fokus pada rekapitulasi suara,” ungkap Baidowi di Gedung DPR, Jakarta,....