BELUM usai konflik sengketa lahan di Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta, yang berlangsung bertahun-tahun, Mustaghfirin dari Forum Peduli Pulau Pari kini dibuat cemas dengan undang-undang baru yang disahkan pada pertengahan tahun lalu. Ketentuan areal preservasi dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU KSDAHE) dinilai mengancam masyarakat pesisir. Perluasan areal preservasi diikuti dengan keharusan bagi setiap pemegang hak untuk melepaskan hak atas tanah mereka apabila tidak bersedia melakukan kegiatan KSDAHE sebagaimana diatur dalam Pasal 9 dalam UU KSDAHAE.
Mustaghfirin sudah 53 tahun menetap di Pulau Pari. Ia menyebut dirinya sebagai generasi kelima di pulau itu. Bagi Mustaghfirin dan masyarakat setempat, praktik konservasi dan sejenisnya bukan hal baru. Mereka senantiasa merawak pulau dan lautnya. Terakhir kelompoknya menanam 40 ribu buah mangrove yang hilang begitu saja diduga ulah korporasi yang akan melakukan reklamasi. “Ada teman kami, Pak Misin, beliau sudah menanam lebih dari sejuta mangrove. Itu tumbuh dengan baik. Beliau tidak diperintah dan tidak dibayar untuk menanam mangrove,” ungkapnya dalam sebuah diskusi di bilangan Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (10/6).
Laut beserta sumber daya di dalamnya, kata dia, merupakan hak semua orang. Namun, kata dia, saat ini sumber daya alam itu seakan hanya untuk kepentingan korporasi. “Mereka (korporasi) coba mengurus perizinan melalui persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut (PKKPRL). Tanpa sepengetahuan masyarakat, zona ini sudah keluar izinnya. Itu membingungkan kita,” ungkapnya.