Baru-baru ini, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama (Kemenag) merilis hasil survei mengenai indeks kesalehan sosial (IKS). Hasilnya cukup menggembirakan, skornya mencapai 82,59. Artinya, menurut Kemenag, kesalehan sosial nasional dapat diposisikan dalam kategori 'sangat baik'. Bahkan melapaui survei tahun lalu yang nilainya 70,03. Menurut penjelasan Kepala Badan Litbang dan Diklat Kemenag Suyitno, survei itu diikur melalui lima dimensi pengukuran, yakni kepedulian/solidaritas sosial, relasi antarmanusia (kebinekaan), menjaga etika dan budi pekerti, melestarikan lingkungan, serta relasi dengan negara dan pemerintah.
Data itu, menurut Suyitno, dilakukan di beberapa kota yang dominan pemeluk agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Survei tersebut melibatkan 1.610 responden yang dipilih menggunakan teknik clustered random sampling pada 20 kabupaten dan kota di Indonesia. Pengumpulan hingga analisis data dilakukan pada rentang April sampai Juni 2023 oleh 20 koordinator penelitian, 80 survei, dan 3 spot checker. Ada 1.600 responden yang diwawancarai langsung atau mengisi jawaban pada kuesioner. Adapun data lainnya diperoleh melalui metode focus group discussion (FGD) di beberapa kota yang menggambarkan spirit keberagamaan tiap-tiap enam agama.
Berdasarkan survei tersebut, menjaga etika dan budi pekerti mencatat skor tertinggi, yakni 88,02, disusul relasi dengan negara dan pemerintah (86,06), kepedulian/solidaritas sosial (80,41), melestarikan lingkungan (80,28), dan relasi antarmnusia (kebinekaan) dengan skor 78,19. Angka-angka itu tentu sangat menggembiarakan. Namun, pertanyaannya, sejauh mana indikator-indikator kesalehan itu dapat diterapkan sehingga mampu menjaga tertib sosial dalam bermasyarakat dan bernegara?