OPINI

Khitah Negara pada Sastra Masuk Kurikulum

Jum, 14 Jun 2024

BAGAIMANA Syahrazad menyembuhkan pria edan yang berkuasa? Hikayat Seribu Satu Malam memberitahu kita: melalui cerita. “Orang butuh cerita ketimbang roti,” daku seorang tokoh dalam magnum opus Dinasti Abbasiyah tersebut. “Sebuah cerita mengajarkan kita bagaimana untuk hidup dan mengapa.” Dengan daya kisah-kisah dan keterampilan bertutur, Syahrazad juga sukses mengelak kontrak kematian tersebab pernikahan mautnya dengan Syahriar, sang sultan.

Dahulu, sebelum trauma dan kekuasaan meracuni isi kepalanya, Syahriar hanyalah bocah riang biasa. Namun, ia terjangkit sakit majenun setelah dikhianati permaisurinya yang berbuat serong dengan budak. Maka itu, perkawinan demi perkawinan pascabencana marital itu menjelma tali sutra yang memancung para mempelainya. Di tengah krisis tersebut, Syahrazad tampil sebagai juru selamat raja dari insomnia dan kegilaan. Sungguh, kita bisa menjumpai Hikayat Seribu Satu Malam versi novel modern Indonesia pada Tantri: Perempuan yang Bercerita karya pengarang Bali, Cok Sawitri. 

Jauh sebelum ‘terapi jiwa via cerita’ dikisahkan dalam Hikayat Seribu Satu Malam, Aristoteles telah merenungkan efek drama tragedi. Ia menyebutnya ‘katarsis’, pemurnian emosi. Rangkaian peristiwa yang menimpa tokoh-tokoh tragedi, bagi sang filsuf, bisa menyalurkan sekaligus melepaskan tekanan batin audiens. Patos yang beroperasi di antara cerita dan audiens akan membentangkan jalan katarsis untuk menggiring emosi ke rasa gentar dan asih. Lalu kita tahu, bahagia dan derita ialah kemestian yang dihadapi manusia.  

SHARE THIS

Belum selesai membaca berita ini ? Selesaikan dengan berlangganan disini Berlangganan

Advertisement

Advertisement