RENCANA relokasi PKL yang dilakukan oleh Pemprov DIY dan Pemkot Yogyakarta mendapat respons keberatan. PKL yang direlokasi adalah mereka yang berjualan di sisi timur dan barat sepanjang kawasan Malioboro.
Beberapa PKL Malioboro yang ditanyai Media Indonesia mengaku, jika disuruh memilih, mereka ingin tetap berjualan di lokasi sekarang ketimbang harus pindah ke tempat yang telah disediakan oleh pemerintah daerah.
Ketua Umum Asosiasi Pedagang Kaki Lima Yogyakarta (APKLY) Wawan Suhendra mengaku pihaknya keberatan jika relokasi dilakukan dalam waktu dekat. Pasalnya, para PKL sedang berjuang untuk bangkit setelah usaha mereka mati suri akibat pandemi covid-19.
“Kami tidak menolak (penataan Malioboro), tetapi keberatan. Alasannya, kondisi perekonomian sangat terpuruk terdampak pandemi covid-19,” kata Wawan, Jumat (31/12/2021).
Sebelum relokasi dilakukan, para PKL sekarusnya juga disiapkan dari sisi psikologis. Pasalnya, di tempat yang baru, mereka butuh usaha yang jauh lebih keras untuk mendapatkan pembeli. “Butuh ancang-ancang (berjualan di tempat baru), enggak bisa langsung dapat pelanggan,” ujarnya.
Ia pun berharap relokasi dapat ditunda minimal satu sampai tiga tahun atau lebih. Pemunduran waktu relokasi dapat dimanfaatkan para PKL untuk menabung dan beradaptasi dengan tempat jualan yang baru ketika mereka direlokasi.
Gubernur DIY Sri Sultan HB X mengingatkan bahwa lahan tempat berjualan para PKL Malioboro yang mereka tempati saat ini sebenarnya bukan milik PKL ataupun pemda, tetapi milik si empunya toko. Hal wajar jika PKL mengembalikan tempat tersebut kepada yang empunya dan pindah ke lokasi yang baru. “Saya kira mereka juga harus tahu bahwa sebenarnya tempat jualan (PKL) itu milik pemilik toko, bukan milik pemerintah daerah,” papar Sri Sultan.
Wakil Wali Kota Yogyakarta Heroe Poerwadi berharap para PKL Malioboro dapat memahami rencana penataan tersebut. Sebab, imbuhnya, langkah ini demi kebaikan bersama.
“Saya kira, memang butuh penyesuaian dari pedagang (dengan tempat relokasi),” kata Heroe.
Pasalnya, selama ini mereka berjualan di sepanjang jalur pedestrian Malioboro, tapi setelah direlokasi mereka harus berjualan di lokasi baru.
Heroe menegaskan pihaknya terbuka mengevaluasi pelaksanaan proses penataan Malioboro. Ia ingin, setelah penataan, para PKL dan toko bisa berjualan secara maksimal.
Potensi konflik antara pemilik toko dan para PKL Malioboro memang nyata. Setitik bara dalam sekam itu terlihat di halaman salah satu toko gelato yang berada di seberang gedung DPRD DIY.
Konflik tersebut mulai mencuat pada November 2021. Ketika itu, salah satu toko di Malioboro memasang meja dan kursi di depan, tepat setelah renovasi toko selesai dilakukan.
Beberapa PKL Malioboro yang sebelumnya berjualan di depan toko tersebut pun kaget. Para PKL itu meminta si pengelola toko mengosongkan meja dan kursi dari depan toko. Sebaliknya si pengelola toko berkukuh dengan sikapnya.
Alhasil, beberapa PKL Malioboro itu tetap membuka lapak dagangan mereka. Namun, PKL yang berjualan di selasar toko itu jadi berkurang dengan area jualan juga semakin sempit. Sebelum toko itu direnovasi, sebanyak 15 PKL bisa berjualan di depan toko, tetapi kini hanya....