TAHUN boleh berganti, tapi masalah yang ditinggalkan belum tentu berhenti. Sepanjang tahun, selimut ketakutan karena cekikan pandemi-19 perlahan mereda. Namun, ketakutan lain masih menghantui kehidupan bangsa yang tercekam oleh penularan virus ‘patologi sosial’.
Wabah patologi sosial itu ditandai oleh keterusan memudarnya rasa saling percaya sesama warga bangsa yang ditimbulkan oleh berbagai kecemasan. Mereka yang marginal secara kultural merasa cemas akan adanya diskriminasi etnik-budaya-agama-gender. Mereka yang marginal secara politik merasa cemas akan adanya ketidaksetaraan akses sumber daya terhadap kekuasaan dan perlakuan hukum. Mereka yang marginal secara ekonomi merasa cemas akan meluasnya kesenjangan ekonomi serta ketidaksetaraan dalam akses permodalan, kesempatan kerja, dan berusaha. Berbagai bentuk kecemasan itu meletupkan ketegangan saling mendiskreditkan di ruang publik, yang menambah tingkat kepelikan dan krisis kehidupan pascapandemi.
Sebagian dari ketakutan itu memang memiliki dasar objektivitas yang memerlukan solusi yang efektif. Namun, selebihnya sering kali merupakan realitas distortif sebagai ‘hantu’ hiperrealitas yang dibesar-besarkan. Terorisme memang ancaman nyata yang pantas ditakuti. Namun, mencemaskan kemenangan pasangan tertentu sebagai kemenangan ‘pendukung khilafah’ adalah hantu ketakutan yang diciptakan sendiri. Perluasan pengaruh ekonomi Tiongkok di Tanah Air memang tak terbantahkan. Namun, menggembar-gemborkan kemenangan pasangan tertentu sebagai ‘kebangkitan komunisme’ adalah hantu ba....