DAPAT dipastikan, publik cukup akrab dengan cerita pendek tersohor berjudul Robohnya Surau Kami. Kendati belum pernah membacanya, minimal pernah mendengar kalimat tersebut. Ya, itulah salah satu karya AA Navis. Judul cerpen tersebut terdengar enak untuk dikutip atau diadaptasi menjadi bentuk kalimat baru seperti 'robohnya moral kami', 'robohnya penghasilan kami', hingga yang menyerempet ke politik, misalnya 'robohnya konstitusi kami'.
Dari satu karya saja, tidak muluk jika dikatakan relevansi karya dan gagasan AA Navis untuk persoalan masa kini tidak diragukan lagi. Dari judul cerpen itu, kata 'robohnya' banyak ditiru untuk merujuk pada kemerosotan berbagai bidang di masa kini. Ini berarti, karya klasik AA Navis sudah menjadi bagian pengetahuan dan acuan bagi masyarakat. Kata itu rasanya bukan hanya milik sastrawan atau akademisi yang akrab dengan karya sastra, melainkan sudah 'merasuk' ke berbagai kalangan, termasuk obrolan warga di warung kopi.
Tidak berlebihan jika Pamusuk Eneste mengungkapkan penggunaan kata 'robohnya' dalam tulisan yang muncul setelah cerpen Navis tersebut patut diduga dipengaruhi o....