SELAMA beberapa tahun belakangan ini, publik menyaksikan sejumlah putusan ‘ajaib’ dari korps hakim agung terkait kasus korupsi pejabat publik dan aparat negara. Berbagai putusan Mahkamah Agung (MA) tersebut dikritik masyarakat sipil karena dinilai mencederai hati nurani publik. Apalagi alasan pengurangan hukuman terhadap para koruptor tersebut dinilai tidak masuk akal.
Sebagai contoh ketika hakim agung mengurangi putusan masa hukuman mantan jaksa Pinangki Sirna Malasari karena terbukti menerima uang dari buron Djoko S Tjandra. Salah satu pertimbangan meringankan putusan itu karena ia perempuan sehingga harus mendapat perhatian, perlindungan, dan diperlakukan secara adil.
Contoh lainnya ketika MA memangkas hukuman mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dari 9 tahun menjadi 5 tahun pada tingkat kasasi. Pasalnya MA menilai Edhy telah bekerja dengan baik selama menjabat menteri kelautan dan perikanan.
Selain menyakiti perasaan publik, putusan tersebut dianggap sebagai melemahnya upaya pemberantasan korupsi dari korps hakim agung terutama sepeninggal Ketua Kamar Pidana MA almarhum Artidjo Alkostar.
Belajar dari berbagai putusan ‘ajaib’ tersebut, proses seleksi calon hakim agung kali ini merupakan momentum penting dalam pemberantasan korupsi dan kejahatan ekonomi lainnya di Indonesia. Menurut pakar hukum pidana khusus Yenti Garnasih, proses seleksi kali ini harus menghasilkan para hakim agung yang berintegritas.
“Intinya harus dilihat integritas dan profesionalitasnya serta paham pedoman pemidanaan,” ujarnya ketika dihubungi Media Indonesia, Kamis (28/4).
Menurut Yenti, saat ini publik melihat putusan-putusan hakim yang kering asas dan teori dalam membuat pertimbangan hukum, juga miskin yurisprudensi. “Tidak ada lagi putusan spektakuler yang memenuhi rasa keadilan masyarakat. Kering makna,” ungkapnya.
Yenti yang merupakan Dekan Fakultas Hukum Universitas Pakuan Bogor itu lebih lanjut menjelaskan, seleksi hakim agung kali ini harus bisa mendapatkan hakim yang menguasai permasalahan complicated terkait pidana khusus seperti kasus korupsi, ITE, terorisme, kejahatan ekonomi, dan TPPU. Hal ini, ungkapnya, bisa dilihat dari pengalaman para calon hakim menangani kejahatan ekonomi dan pidana khusus lainnya.
“Mereka harus paham betul tentang pemberatan dan yang meringankan. Namun, harus adil tentunya,” tegasnya.
Ia berharap tidak ada lagi hakim agung yang memberi keringanan hukum terhadap koruptor dengan alasan yang tidak masuk akal.
“Jangan ada lagi alasan meringankan kok pernah berjasa karena menteri. Lah itu kan malah memberatkan. Atau Pinangki yang diringankan karena punya anak,” ujarnya.
....