Menuju Internet Berkelanjutan di Desa Pagaitan

PEMIKIRAN melakukan digitalisasi teknologi di bidang kesehatan agar bisa membantu tenaga kesehatan seharusnya tidak menjadi yang utama. Nyatanya, ada hal lain yang tak pernah terpikir, yakni implementasi teknologi di lapangan, apalagi di wilayah 3T (terluar, terpencil, dan terdepan). Kesadaran itu ditemukan oleh salah satu mahasiswa teknik biomedis ITB sekaligus anggota tim Pengabdian Masyarakat Daerah 3T Wilayah Indonesia Timur di Desa Pagaitan, Eunike Kristianti. Ia menegaskan bahwa produk akhir dari teknologi perlu didukung oleh infrastruktur lain yang memadai untuk bisa diakses dan dimanfaatkan dengan baik.

Kesadaran Eunike itu juga terbangun dari cerita yang disampaikan seorang bidan di Pos Kesehatan Desa (Poskesdes) Pagaitan, Megawati. Pekerjaan dan tanggung jawabnya kerap terhambat akibat keterbatasan internet yang ada. Sebagai seorang aparatur sipil negara (ASN), Mega harus melaporkan setiap kegiatannya dalam sebuah aplikasi, jika hal tersebut tidak dilakukan, ia dinilai tidak bekerja. Sementara itu, Mega harus bolak-balik ke kota untuk bisa mengisi aplikasi. "Kasihan sekali kalau misalnya di sini ada pasien, terus saya tinggalkan. Perlu waktu dan biaya yang harus saya keluarkan untuk pergi menginput laporan."

Desa Pagaitan merupakan sebuah desa kecil yang tergolong sebagai daerah tertinggal. Terletak di Kecamatan Ogodeide, Kabupaten Tolitoli, Sulawesi Tengah, desa itu dihuni oleh sekitar 769 orang. Sebagai desa transmigrasi, penduduknya berasal dari Flores, Bali, dan Jawa. Ekonomi di desa itu sangat bergantung pada sektor pertanian dan perkebunan dengan komoditas utama berupa padi, jagung, kelapa sawit, dan cokelat. Di sisi lain, desa tersebut menghadapi beberapa tantangan, termasuk kesulitan akses air bersih, terutama saat musim hujan serta keterbatasan akses internet. Masalah itu diungkap langsung oleh Damianus Mikasa, Kepala Desa Pagaitan melalui aplikasi Desanesha.