TIFA

Menyelami Nilai Spiritualitas Karya AD Pirous

Min, 26 Jun 2022


Dua wajah bermotif Totem berada sejajar dan berdekatan satu sama lain. Keduanya memiliki mata berukuran besar, alis tebal, dan gigi tajam. Wajah-wajah itu dilewati garis hitam tebal dan panjang yang berkaitan dengan paduan warna krem, biru tua, dan hitam.
Lukisan berjudul Totem itu karya perupa AD Pirous yang dibuat pada 1974. Lukisan itu kini berada di Galeri Seni Art Space S.E.A, Gongdangdia, Jakarta Pusat, pada pameran bertema Suaka yang berlangsung hingga 2 Juli.
Terlatih sebagai pionir seni lukis kaligrafi Islam, Abdul Djalil (A.D) Pirous dikenal dengan lukisan yang menggabungkan abstraksi geometris dengan kaligrafi, desain islami, dan eksplorasi tekstur melalui sketsa, serigrafi, dan penggunaan pasta pemodelan yang ahli.
Meski demikian, karya-karyanya tidak terbatas itu dan cukup beragam dalam lingkup tema spiritual dan kepercayaan religius. Pada periode awal, Pirous juga menawarkan karya dengan visual yang bisa merangsang pandangan menyeluruh terhadap hal-hal yang berkaitan dengan spiritualitas, keindahan kebudayaan Indonesia, dan hikayat alam semesta.
Lukisan yang menggunakan media kain tekstil di atas kanvas dan tinta ini menggambarkan budaya seni ukir Totem yang berkaitan erat dengan kehidupan spiritual masyarakat suku Asmat di Papua. Totem bermakna sangat sakral dan biasanya ditempatkan di pintu masuk desa sebagai representasi lambang kehadiran dari roh para leluhur.
Pirous melukis totem berwajah figur manusia yang secara spiritual mewakili identifikasi budaya dari suku Asmat sebagai kelompok sosial yang seperti duku-suku lainnya memiliki nilai-nilai spiritual. Hal ini seolah menegaskan bahwa semua ekspresi religius manusia pada hakikatnya ditemukan dalam hubungan yang saling berkelompok.
Kurator Art Agenda S.E.A, Zineng Wang mengatakan di awal 1970-an, Pirous beralih dari gaya lukis yang bersifat formalistik ke gaya lukis yang mengambil inspirasi dari warisan budaya Indonesia. “Pada periode ini, Pirous mulai menampilkan simbol ikonik dan penting dari kelompok-kelompok etnik di Indonesia. Totem merupakan sebuah artefak budaya suku di Papua. Praktik menampilkan simbol-simbol budaya ini berkesinambungan dengan praktik seni grafik yang dilakukan Pirous pada periode yang sama,” ujar Zineng, yang berdomisili di Singapura saat dihubungi Media Indonesia melalui sambungan video teleconference di Art Agenda S.E.A pada Jumat (3/6).
Zineng menjelaskan dalam karya berjudul Totem, Pirous bereksperimen secara luas dalam hal gaya, teknik, dan elemen lukisan yang menggunakan ragam jenis media dan menggunakan sapuan kuas tebal dengan palet warna yang beragam untuk melestarikan abstraksi metaforis.
“Karakter lukisan Pirous di awal-awal berkarier selalu erat berbicara tentang budaya dengan melukis totem yang menampilkan beberapa unsur dan motif. Dia juga mengeksplorasi kain tekstil dengan beragam macam pola di tahun 60-an hingga 70-an,” katanya.

Kubisme
Tak hanya menghadirkan karya Totem, pameran ini juga bekerja sama dengan para kolektor yang turut menampilkan koleksi lain dari karya A.D Pirous yakni Rumah di Tepi Sungai (1965). Ini adalah salah satu karya awal Pirous yang dengan jelas menampilkan turunan dari prinsip-prinsip seni modern abad kedua puluh di timur dan barat. Rumah-rumah di darat dibuat rata secara kubistis.
Garis hitam yang melingkungi rumah dan kapal mengambil inspirasi dari lukisan Tiongkok, dengan penekanan pada ekspresi dan keluwesan yang timbul dari tiap goresan kuas. Kanvas secara rata terbagi menjadi dua bagian, rumah di darat dan kehidupan di sungai. Dua bagian tersebut melambangkan ketegangan antarkutub, dorongan untuk menjadi abadi dan realitas yang bersifat sementara; semua hal dinamis dan rentan berubah.
Sementara itu, karya berjudul Taman Sari Valley (1968) tercipta dari kombinasi goresan kuas yang kuat di atas satu sama lain. Lukisan ini menunjukkan betapa pentingnya kubisme dan abstraksi dalam karya-karya Pirous. Permainan warna, permukaan dan cahaya tampak secara jelas dalam karya ini.
“Eksplorasi teksur, goresan dan cahaya dari karya-karya Pirous mengungkapkan kemampuannya untuk membawa masing-masing diri kita ke alam yang berbeda sembari menawarkan sisi emosional dari keyakinan spiritual,” ungkap Zineng.
Warna hijau dapat diumpamakan sebagai pohon dan tanaman, biru sebagai air, dan warna kemerahan sebagai bunga atau hawa hangat matahari terbenam. Menyelami lukisan ini seperti membenamkan diri kita ke alam terbuka, kita dapat melihat pohon-pohon yang tertiup angin, riak di air terjun, dan kehangatan yang muncul dari warna dan pergerakan matahari.
Secara keseluruhan, pameran ‘Suaka’ menyajikan 7 koleksi karya seni lukis dengan tema keseharian dan eksperimen bentuk dalam periode 1964 -1987 yang berfokus pada fase menarik dalam hidup dan karier dari seorang A.D Pirous, khususnya periode awal karya-karyanya.
“Koleksi yang kami pamerkan merupakan koleksi privat dari para kolektor, kami sebagai galeri bekerja sama dengan para kolektor pemilik lukisan yang tersebar di beberapa negara untuk mempublikasi karya-karya A.D Pirous,” kata Zineng....

Belum selesai membaca berita ini ? Selesaikan dengan berlangganan disini Berlangganan

Advertisement

Advertisement