BANDA Neira dan Maluku Kie Raha (Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan) punya segudang cerita sejarah tentang kolonialisme yang datang demi rempah, terutama pala yang sudah menjadi komoditas utama masyarakat timur Indonesia sejak ratusan tahun silam.
Maluku Kie Raha banyak menyajikan rempah seperti pala, cengkih, kopi, co kelat, dan kenari. Sementara itu, di Ke pulauan Banda, rempah pala menjadi yang paling seksi di antara komoditas lain. Itu juga yang ‘mengundang’ bangsa Eropa seperti Portugis, Inggris, dan Belanda jauhjauh berlayar antarbenua untuk mencari surga yang mereka khayalkan.
Beda dulu dan kini, pada 400-500 tahun lalu pala menjadi primadona dunia, harganya pun setara dengan emas. Hingga Inggris dan Belanda membuat kesepakatan untuk menukar Pulau Run di Kepulauan Banda dengan Manhattan, Amerika Serikat.
Kini, pala harus berjuang kembali untuk meraih masa kejayaan untuk menjadi komoditas yang diidamkan masyarakat dunia, tetapi yang masih tersisa dari dulu ialah sistem perdagangan dengan berbagai penyesuaian.
Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Maluku Utara Muhammad Husni mengatakan pengelolaan rempah di Maluku Kie Raha sudah baik sejak dahulu hingga kini, artinya ada penjualannya, SDM, produksi yang semua tersusun da ri penanaman, perawatan, pemetikan, hingga penjualan sudah berjalan dengan baik.
“Ini sudah berjalan dengan baik karena salah satu penopang hidup masyarakat Maluku Kie Raha adalah rempah, terutama pala. Apalagi perekonomian seharihari ini juga salah satu unsur utama di masyarakat itu,” kata Husni kepada Media Indonesia.
Sejatinya tidak ada hal yang perlu dikha watirkan dari produksi pala di Maluku Kie Raha. Namun, pengembanganlah yang memerlukan perhatian seluruh pihak, terutama pada varietas-varietas baru seperti pembibitan dan pengembangan pala yang diharapkan lebih unggul dan memiliki harga jual lebih tinggi.
“Terutama pengolahan buah pala tidak saja didagangkan bijinya, sebaiknya sudah diproduksi lebih banyak dalam bentuk barang konsumsi yang dijual lebih beragam seperti sari buah pala dibuat sirup dan selai pala hingga kerajinan-kerajinan masyarakat,” ujar Husni.
Di sisi lain, peran masyarakat adat juga ikut melestarikan pala dengan gaya konservatif. Upaya tersebut cukup paten merawat rempah dari penanaman hingga berbuah.
Direktur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat Kemendikbud-Ristek Sjamsul Hadi menjelaskan masyarakat adat melestarikan rempah itu paling dominan dengan melakukan ritual rutin tiap tahun. Itu membuat ekosistem pertumbuhan rempah akan lebih baik karena pohon rempah yang ada di lingkungan ibarat saling merawat hingga ada ikatan batin.
Melalui kearifan lokal itulah, di wilayah Bacan, Jailolo, Ternate, Tidore, hingga Banda hubungan ekosistem masih cukup kuat dan dominan dijalani. Bahkan di Banda Neira terdapat pohon kenari ratusan tahun yang melindungi pohon pala lainnya sebagai pohon teduh.
“Pohon itu juga menjadi induk dari berbagai pohon. Jadi, mulai dari pembibitan dari kenari yang terpilih karena dipercaya memiliki ketahanan terhadap cuaca, hama, dan bisa bertumbuh ratusan tahun,” imbuh Sjamsul.
Menurutnya, rempah di Banda Neira berbeda dengan rempah-rempah yang ada di Pulau Jawa yang punya mutu dan umur berbeda.
Hal itu bisa terlihat dari biji, kulit, dan aroma yang berbeda jika dibandingkan dengan di wilayah lain dan memiliki nilai jual berbeda pula. Itu merupakan faktor alam yang mendukung kenari, pala, cengkih dan sebagainya tumbuh subur di Pulau Maluku dan Kepulauan Banda.
Regenerasi pala
Sjamsul menjelaskan sistem regenerasi tentang pengelolaan rempah dari orangtua kepada anak muda harus ditingkatkan.
Generasi muda yang belajar dengan tekun bisa mengetahui bagaimana cara merawat tumbuhan rempah-rempah tersebut dan melestarikan di wilayah mereka.
“Sistem regenerasi biasanya melalui transfer pengetahuan, yaitu dengan upaya temu, kenali potensi-potensi yang ada di masyarakat adat sebelumnya,” ujar Sjamsul.
Dulu perawatan rempah berdasarkan kearifan lokal yang ada dengan merawat dan berdialog dengan tanaman. Masyarakat adat meyakini bahwa dialog dengan tanaman rempah merupakan bagian dari ekosistem kehidupan.
Sebagai timbal balik alam terhadap lingkungan, rempah tumbuh subur dan berbuah banyak dan itu yang membawa kesejahteraan, khususnya di Banda Neira, Kupang, Ternate, dan Tidore saat ini.
“Dengan upaya-upaya generasi muda untuk penghijauan pohon rempah yang sudah tua, tanpa harus menebang mereka, menanam kembali tumbuhan rempah yang ada di Banda dan di wilayah lain seperti di Ternate dan Tidore,” jelasnya.
Namun, Ketua Perkumpulan Bandaneira Muda (Perbamu) Isra Prasetya menilai regenerasi pengolahan dan penjagaan rempah, terutama pala, dari orangtua kepada anak muda di Banda Neira masih terbilang kurang. Karena itu, diperlukan edukasi lebih lanjut tentang sejarah dan pengelolaan rempah kepada anak muda sekarang.
“Masih sangat kurang, ya. Paling yang bisa diturunkan adalah dari orangtua kepada anaknya untuk menjaga kebun pala saja dan semakin lama semakin berkurang minat anak-anak muda,” aku Isra.
Padahal, pengelolaan pala menjadi produk bisa menguntungkan karena pala, mulai bunga, buah, hingga daun batang memiliki nilai jual. Dari sekitar 21 ribu penduduk Banda, anak mudanya paling tidak sepertiga yang mau meneruskan kegaiatan ekonomi rempah. Sebaliknya, banyak anak muda Banda setelah lulus SMA hijrah untuk kuliah atau bekerja di luar daerah.
“Yang kembali ke Banda setelah kuliah keluar itu sangat sedikit karena ketika sudah kuliah dan mengenal dunia luar, jadi sulit untuk kembali ke Banda,” pungkasnya.
Realitas itu tentu perlu mendapatkan perhatian semua pihak. Hasil menghidupkan ekonomi rempah di timur Indonesia tak kalah dengan keluaran apabila anak muda menekuni kegiatan ekonomi modern sekalipu....