MATAHARI mulai menampakkan sinarnya. Hangatnya begitu terasa saat Yayasan Indonesia Hijau memulai kelas pendidikan sekolah paket bagi anak-anak pengemis atau pemulung.
Setiap Minggu pagi hingga siang hari, guru dari Yayasan Indonesia Hijau tampak sibuk mengatur anak-anak untuk mengikuti kelas. Mereka belajar bersama di lapak terbuka dengan dinaungi saung buatan para guru.
“Yayasan ini fokusnya ke jenjang pendidikan. Memang awalnya untuk pendidikan adik-adik pemulung di Jabodetabek. Kita ada tiga lapak, di Kebagusan, Ragunan, Jatipadang. Kita berikan bantuan kepada adik-adik yang putus sekolah,” ujar Humas Yayasan Indonesia Hijau, Sisilia.
Berangkat dari rasa tak tega karena melihat anak pemulung yang sudah bekerja sebelum waktunya, Sisilia dan rekan-rekannya pun mencetuskan Yayasan Indonesia Hijau.
Awalnya, Sisilia membeberkan bahwa Yayasan Indonesia Hijau dibentuk sejak 2012, tapi baru mempunyai legalitas pada 2014.
Waktu pun terus berlalu. Yayasan Indonesia Hijau terus merawat anak yang terlewat pendidikannya. Mereka berinisiatif untuk membantu anak-anak yang tak bisa sekolah.
Tak puas sampai di situ, yayasan ini juga turut mengedukasi para orangtua perihal betapa pentingnya pendidikan bagi anak-anak. “Orangtuanya kita edukasi untuk mau membawa anaknya belajar agar ke depannya bisa membantu perekonomian juga kalau anak ada ijazah. Kita kan memberikan sekolah paket,” tuturnya.
Tak hanya mengajarkan calistung, atau pelajaran yang ada di kelas pada umumnya, Sisilia membeberkan pihaknya juga mengajari anak-anak pemulung ini untuk menjaga kebersihan.
Menurutnya, anak-anak didikan mereka kini sudah berubah, mereka tahu betapa pentingnya kebersihan. Berbeda dengan dahulu, kebanyakan anak saat belum diajari masih cuek dan cenderung kumal.
Sisilia mengatakan pihaknya memberikan edukasi kepada anak-anak tersebut dari soal cuci tangan, pola makan sehat, cara gunting kuku, mengecek kesehatan rambut, juga hal-hal lainnya.
Sisilia juga mengaku kini Yayasan Indonesia Hijau tak lagi menerima kiriman anak yang kurang mampu dari Kota Indramayu. Maklum, sejak awal berdiri, Sisilia mengaku pihaknya sering mendapat kiriman anak atau pemulung dadakan ini dari kota di luar DKI Jakarta.
Meski begitu, Yayasan Indonesia Hijau tetap memperbolehkan siswa-siswa untuk belajar bersama. “Banyak dari mereka itu nggak bisa masuk sekolah negeri, atau mereka tak punya orangtua, anak di luar nikah, jadi nggak punya dokumendokumen. Jadi gimana caranya mereka tetap berpendidikan. Yang nggak bisa sekolah negeri kita sekolahkan di sekolah swasta,” ujarnya.
Selain mengajari anak-anak pemulung, imbuh Sisilia, Yayasan Indonesia Hijau juga memberikan edukasi terhadap keluarga pemulung. Contohnya dengan mengajarkan atau memberi pelatihan ilmu kerajinan tangan.
“Orangtua sudah menyerahkan anak-anaknya ke kita dengan ikhlas, nggak seperti dulu saat awalawal berdiri. Awal-awal sangat ditentang. Karena belum paham,” ungkapnya.
Total kini ada 250 anak yang menjadi anak asuh Yayasan Indonesia Hijau. Dari yang berumur tiga tahun hingga usia SMA turut belajar bersama di Lapak Pemulung.
Bahkan, Sisilia mengatakan anak asuhnya sudah ada yang berhasil menembus salah satu universitas yang ada di Jawa Barat. Padahal, lanjut Sisilia, anak pemulung itu dulunya merupakan anak yang badung.
“Namanya Aan Andresari. Usianya 20 tahun. Sekarang sudah masuk kuliah. Awalnya selain pemulung, ia kerja di salah satu warung di Tanjung Priok,” tuturnya.
Bermodalkan tekad kuat ingin belajar dan keluar dari jeratan kemiskinan, Aan pun bisa melanjutkan pendidikan hingga ke universitas melalui belajar di Lapak Pemulung Yayasan Indonesia Hijau. “Saya pengen banget belajar, dan alhamdulillah sekarang saya sudah kuliah,” papar Aan.
Saat mendatangi sekolah pemulung, Aan sembari menangis menyatakan ingin belajar supaya bisa membantu keluarganya. Aan pun berjanji akan kembali ke tempat di mana ia dibina dan dididik untuk mengabdi serta membantu adik-adiknya kelak.
“Aan adalah salah satu anak yang berhasil di luar sekolah paket. Yang sekolah paket banyak yang sudah kerja dengan layak juga,” ucap Sisilia.
Selain membantu anak-anak yang kurang mampu dan putus sekolah, Yayasan Indonesia Hijau juga bergerak membantu kerabat disabilitas.
“Awalnya pendidikan, lalu kemanusiaan, kita bantu sahabat difabel yang membutuhkan alat-alat bantu jalan untuk beraktivitas, seperti tongkat, alat bantu dengar, kursi roda, dan kaki palsu,” terangnya.
“Ada juga binaan kami, yaitu adik difabel yang masih sekolah. Operasionalnya berkali-kali lipat dari anak normal, jadi kita bantu dari operasional,” tambahnya.
Lalu, kata Sisilia, Yayasan Indonesia Hijau juga punya aksi kemanusiaan bernama Aksi Bahagia Berbagi. Program itu membagikan keperluan sekolah ke seluruh penjuru negeri. Bahkan, hingga saat ini sudah banyak terbentuk komunitas pemuda Aksi Bahagia Berbagi.
Meskipun sudah berjalan bertahun-tahun, Yayasan Indonesia Hijau nyatanya masih belum memiliki tempat yang layak untuk proses belajar mengajar. “Jadi kalau yang pendidikan pemulung itu di lapak, di saung-saung gitu. Dari swadaya donatur, kita sewa lahan dan kita bangun seperti saung. Ya, belum bisa beli tanah sendiri,” tutur Sisilia.
Ia pun berharap Yayasan Indonesia Hijau bisa memiliki kelas sendiri dan tempat yang tak terdampak banjir lagi. Maklum, kantor mereka yang berada di Jatipadang sering jadi langganan banjir.
Mereka, para pendidik ini pun tak ingin lagi mendengar kalimat, “Yah Kak, hujan. Belajarnya jadi udahan, ya,” dari mulut siswa yang tengah semangat belajar.
Sisilia tak mau cuaca jadi penghalang bagi dirinya dan guru-guru lain dalam mengajar anak pemulung dan anak dari keluarga prasejahtera. “Kami juga perlu banyak support gadget. Apalagi di masa pandemi ini, semua hal dilakukan dengan gadget. Terakhir, kami juga masih membuka kesempatan kepada para calon pengajar untuk program kakak asuh,” pungkasnya.

&nbs....