PERAJIN kain tenun songket Dusun Sade, Desa Rembitan, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), merasa lega karena industri pariwisata mulai menggeliat setelah sekian lama lumpuh dilanda pandemi covid-19. Banyak simpul usaha masyarakat yang terdampak. Salah satunya kerajinan tenun songket di Dusun Sade.
Dusun Sade merupakan salah satu komunitas suku Sasak yang hingga saat ini masih mempertahankan tradisi keseharian mereka, seperti hidup mengelompok menempati rumah tradisional hingga aktivitas sehari-sehari antara lain bertani dan memproduksi kain tenun songket.
Kain tenun songket khas Sade adalah hasil karya para perempuan dusun tersebut yang dikerjakan di rumah dengan menggunakan alat tenun tradisional, dengan bahan baku dari kapas dan bahan benang pabrikan.
Dulu kegiatan menenun dilakukan para perempuan Sade untuk mengisi waktu senggang tatkala tidak sedang turun ke sawah.
Pada saat musim menanam padi atau panen, para ibu harus turun ke sawah membantu suami mereka.
Seiring berjalan waktu, tatkala industri pariwisata mulai berkembang di Lombok, kegiatan menenun oleh warga Sade tumbuh menjadi sumber pendapatan warga. Sampai saat ini dapat disaksikan oleh wisatawan yang datang berkunjung ke sana. Wisatawan tidak sebatas menyaksikan bagaimana ibuibu dengan piawainya menenun, tapi juga dapat mempraktikkan cara menenun itu sendiri.
“Selama korona sepi, tidak ada tamu yang datang belanja. Sekarang mulai ramai dan tiap hari ada saja yang belanja meskipun tidak banyak. Dalam sehari terkadang laku Rp100 ribu hingga Rp200 ribu,” kata Inaq Ayap, 34, kepada Media Indonesia, pekan lalu, sembari menenun. Ibu dua anak ini menekuni keterampilan menenun kain sejak usia sekolah dasar (SD) hingga sekarang. Ia menenun saat tidak ke sawah untuk membantu suaminya.
Gerai milik Inaq Ayap berukuran sekitar 5 x 2,5 meter. Di sana dia memajangkan berbagai hasil tenunan seperti songket, tenun ikat, taplak meja, surban, sajadah, dan selimut.
Di gerai itu pula Inaq Ayap berjualan sambil menenun, sekaligus mengurus anak dan melayani pembeli.
“Laki-laki tidak menenun sebab nanti dikira bencong sama orang,” katanya.
Cerita yang sama juga disampaikan Inaq Ayat, 60, meskipun dia juga bisa menenun. Inaq Ayat lebih banyak menunggu dagangan di gerai miliknya yang berukuran sekitar 2,5 x 2 meter, sedangkan yang menenun kain ialah kakaknya di rumah.
Menurut Inaq Ayat, dengan adanya berbagai event balap, seperti Moto-GP dan Kejuaraan Dunia Superbike (WSBK), wisatawan yang datang berkunjung mulai ramai. Orang belanja pun mulai ada meskipun tidak banyak.
“Sekarang tiap hari ada yang laku, alhamdulillah. Cuma tidak banyak, Rp100 ribu-Rp200 ribu, karena yang dibeli bukan songket, melainkan jenis taplak meja satu atau dua lembar,” ujarnya.
Pengakuan serupa juga datang dari Oni, 37. Menurut dia, selama pandemi dagangan benar-benar sepi. Bahkan hingga empat bulan sama sekali tidak ada tamu yang datang.
“Untuk makan sih ada saja, walau terpaksa harus minjam ke teman-teman. Kami bersyukur sekarang mulai ramai, dan ada saja yang laku walau tidak banyak,” ungkapnya.
Oni mengaku sehari-hari dia hanya menjaga gerai, sedangkan yang menenun adalah ibunya. “Dulu saya menenun juga, sekarang sudah tidak lagi karena saya sakit asma. Jadi yang nenun ibu saya, dia buat songket, taplak meja, dan sebagainya,” kata Oni yang menempati gerai berukuran sekitar 3 x 2,5 meter untuk menjual hasil tenun.
Rata-rata gerai di Sade menjual aneka hasil tenun mulai dari songket dengan bahan dasar benang kapas hingga tenun ikat dengan bahan benang pabrik, juga selimut, taplak meja, sajadah, selempang, dan surban.
Selain itu, mereka juga menjual sejumlah produk kerajinan lain seperti tas rotan, hiasan pernak-pernik, gelang, termasuk suvenir, baju, kaus, dan lain-lain.