HUMANIORA

Nasib Hutan di Tangan Rimbawan

Kam, 18 Mar 2021

MEREKA bekerja dalam keheningan. Setiap hari masukkeluar hutan yang penuh bahaya. Nyawa pun dipertaruhkan setiap saat.

Tidak hanya hewan liar mematikan atau kondisi hutan yang ganas, para rimbawan juga harus siaga berhadapan dengan pelaku pembalakan liar (illegal logging) yang bisa berbuat apa saja demi membabat hutan.

Tugas lain pun sudah menanti untuk memadamkan api liar yang setiap kali muncul di musim kemarau. Di tempat lain, para rimbawan juga dalam hening tekun meneliti segala sesuatu yang berkaitan dengan upaya pelestarian dan keterjagaan ekosistem hutan. Di ruang laboratorium, misi penyelamatan dan pelestarian hutan menjadi tujuan.

Berdasarkan data Ditjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Ke hutanan (KLHK), luas lahan berhutan seluruh daratan Indonesia ialah 94,1 juta hektare (ha) atau 50,1% dari total daratan. Dari jumlah tersebut, 92,3% dari total luas berhutan atau 86,9 juta ha berada di dalam kawasan hutan.

Bisa dibayangkan, para rimbawan menghadapi tidak saja luasnya area wa na yang harus dikelola, tapi juga perkembangan masalah kehutanan yang semakin pelik dari waktu ke waktu. Butuh penguatan mental dan semangat prima untuk menjalani profesi ini.

Tak mengherankan jika di kalangan rimbawan pada setiap 16 Maret mengadakan renungan suci untuk meneguhkan profesi ini. Menteri LHK Siti Nurbaya tahun ini menjadi inspektur upacara Peringatan Hari Bakti Rimbawan di Plaza Sujono Suryo, Manggala Wanabakti, Jakarta, Selasa (16/3).

Pada kesempatan tersebut, Menteri Siti meminta konsolidasi rimbawan Indonesia untuk kepentingan bangsa dan negara. “Saya ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada para rimbawan yang telah memberikan kinerja baik selama masa pandemi covid-19 dalam mendukung pembangunan lingkungan hidup dan kehutanan yang berkelanjutan,” katanya.

Apresiasi juga ditujukan kepada para rimbawan atas pencapaian penurunan de forestasi hingga 75,03% di periode 2019-2020, seluas 115,46 ribu ha. Capaian ini merupakan deforestasi dengan angka terendah sepanjang sejarah.

Apresiasi juga disampaikan atas kerja keras dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui hutan sosial, pekerjaan pemulihan lingkungan dengan penanaman pohon dan mangrove secara luas, serta rehabilitasi gambut.

Upaya-upaya lain yang patut diapresiasi di antaranya perlindungan dan patroli hutan kawasan konservasi, penyelamatan satwa liar dan keanekaragaman hayati, usaha hutan lestari, dan penegakan hukum.

Begitu pula kerja-kerja preparasi kebijakan, peningkatan SDM, pengawasan dan inovasi, serta penelitian murni dan kerja laboratorium. Yang tak kalah penting, peran policy advice untuk menjawab berbagai persoalan yang ada di lapangan.

Demikian pula dalam diplomasi internasional, yakni menyangkut upaya-upaya sektor kehutanan dalam pengendalian perubahan iklim. “Saya tahu persis bukan pekerjaan yang mudah, dengan tantangan yang sangat berat pada semua bidang-bidang tugas tersebut,” ungkapnya.

Tugas para rimbawan kini berada pada rentang bidang pekerjaan yang cukup lebar. Mulai dari pekerjaan preparasi ke bijakan, analisis, kerja lab, nekropsi/bedah post mortem satwa, menanam pohon, memadamkan api, patroli kawasan, memulihkan serta mengawasi kerusakan lingkungan, hingga memberikan izin, mendorong, membina, dan memfasilitasi hutan sosial bagi masyarakat, dan masih banyak lagi.

Penguatan profesionalitas itu penting untuk mengingatkan tugas rimbawan ke depan semakin berat. Pasalnya, kondisi lahan dan hutan Indonesia bersifat dinamis, seiring dengan kebutuhan lahan untuk pembangunan dan kegiatan lainnya. Perubahan tutupan hutan terjadi da ri waktu ke waktu, antara lain karena konversi hutan untuk pembangunan sektor nonkehutanan, perambahan, dan kebakaran hutan.

Dalam tiga tahun terakhir ini tren deforestasi Indonesia relatif lebih rendah dan cenderung stabil. Deforestasi pada 2018 -2019, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan Indonesia, ialah sebesar 462,4 ribu ha. Angka itu berasal dari angka deforestasi bruto sebesar 465,5 ribu ha dengan dikurangi angka reforestasi (hasil pemantauan citra satelit) sebesar 3,1 ribu ha.

Sebagai pembanding, hasil pemantauan hutan Indonesia pada 2018 menunjukkan bahwa deforestasi tahun 2017-2018 baik di dalam dan di luar kawasan hutan Indonesia mencapai 439,4 ribu ha, yang berasal dari angka deforestasi bruto sebesar 493,3 ribu ha dengan dikurangi reforestasi (hasil pemantauan citra satelit) sebesar 53,9 ribu ha.

Dengan memperhatikan hasil pemantauan di 2018 dan 2019 dapat dilihat bahwa secara neto deforestasi Indonesia pada 2018-2019 naik sebesar 5,2%. Meski demikian, untuk deforestasi bruto terjadi penurunan sebesar 5,6%.

Capaian deforestasi tersebut harus dipertahankan melalui berbagai kebijakan strategis dan operasional di lapangan. Peran rimbawan harus diperkuat. Industri perhutanan bisa diarahkan untuk tak sekadar mengolah hasil hutan atau memanfaatkan lahan kehutanan bagi perkebunan sawit yang bisa berdampak buruk bagi ekosistem.

Predikat hutan Indonesia yang dijuluki sebagai paru-paru dunia sejak 2013 harus dipertahankan. Kondisi geografi s yang berada di garis khatulistiwa menjadikan Indonesia rumah yang tepat bagi tumbuhnya berbagai jenis flora dan pohonpohon besar. Pohon-pohon inilah yang menjadi penghasil oksigen terbesar bagi makhluk hidup.

Lebih dari itu, hutan juga menjadi fondasi penjaga ekosistem dan penopang elemen kehidupan di bumi sebab hutan berperan penting dalam menyediakan air bersih, menurunkan pencemaran udara, mengendalikan suhu dan kelembapan, bahkan mencegah bencana alam seperti banjir dan tanah longsor.

Menurut Wakil Menteri LHK Alue Dohong, ada empat pilar utama dalam menjaga hutan Indonesia yang membutuhkan peran strategis para rimbawan.

Pertama, mewujudkan hutan lestari dan lingkungan hidup yang berkualitas. Ke dua, mengoptimalkan manfaat ekonomi sumber daya hutan dan lingkungan secara berkeadilan dan berkelanjutan. Selanjutnya, mewujudkan keberdayaan masyarakat dalam akses kelola hutan, baik laki-laki maupun perempuan, secara adil dan setara. Yang terakhir, mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik.

Ia menambahkan, sebagai rimbawan, berbagai upaya harus dilakukan karena tugasnya tidak hanya berhadapan dengan alam hutan yang liar, tapi juga masyarakat yang perlu terus-menerus diedukasi untuk ikut merawat dan melestarikan hutan dan lingkungannya. Berbagai upaya yang dilakukan KLHK akhir-akhir ini diakui menuai hasil yang signifikan.


Tantangan potensial

Peran seorang rimbawan sangat penting untuk kegiatan pengelolaan hutan de mi terciptanya hutan lestari. Kendati demikian, masih ada sejumlah tantangan yang dihadapi rimbawan saat ini.

“Tantangan besar yakni pembangunan kehutanan ke depan. Di antaranya, bencana ekologis akibat eksploitasi SDA hutan, kebakaran hutan, banjir, tanah longsor, lahan kritis, dan degradasi lahan, juga deforestasi dan reforestasi, progres perhutanan sosial, perubahan iklim, dan penurunan kualitas keanekaragaman hayati,” kata Pengendali Ekosistem Hutan Madya TN Bukit Barisan Selatan, Rikha Aryanie Surya, Jumat (12/3).

Tantangan tersebut, dia yakini dapat dipecahkan dengan sumber daya manusia kehutanan (rimbawan) yang unggul. Pe ran penting rimbawan di lapangan yang beragam itu diharapkan mampu mencapai misi melestarikan hutan Indonesia. Hutan dalam arti luas, flora, fauna, ekosistem, lahan, dan masyarakat sekitar hutan.

Senada dengan itu, Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB University Profesor Bambang Hero mengungkapkan rimbawan atau forester adalah seseorang yang mempunyai kemampuan dan keahlian dalam pengelolaan berbagai aspek kehutanan. Dengan demikian, kehadirannya sebagai bagian dari solusi dan bukan bagian dari masalah.

“Hanya saja, dalam berbagai implementasinya kadang tidak sedikit terjadi benturan, baik karena adanya perbedaan persepsi juga adanya perbedaan kepentingan,” kata Bambang.

Karena itu, ada istilah ‘rimbawan salon’ yang lebih banyak bermain di meja, tetapi tidak pernah tahu seperti apa keadaan se sungguhnya di lapangan.

“Hal ini pulalah kadang yang menjadi masalah ketika rimbawan muda yang minim pengalaman harus berhadapan dengan masalah yang mungkin tidak pernah dia temui saat studi maupun saat baru menginjak lapangan,” bebernya.

Apalagi, tambah Bambang, bagi sekelom pok orang atau yang mengklaim rimbawan tapi hati nuraninya tidak di situ. Hal hal seperti ini pulalah kemudian yang membutuhkan waktu dalam penyelesaian nya, sementara publik menghendaki secepatnya.

Terkait jumlah ahli kehutanan, diakui Bambang, terkadang juga jadi masalah karena mereka yang seharusnya bagian dari solusi, tetapi tak sedikit pula yang malah menjadi masalah. “Perlu dipahami bahwa masalah kehutanan itu kompleks sehingga penyelesaiannya tidak bisa single actor

Belum selesai membaca berita ini ? Selesaikan dengan berlangganan disini Berlangganan

Advertisement

Advertisement