MENTERI Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengakui pemerintah menghadapi situasi dilema dalam menindak perusahaan pemberi pinjaman online (pinjol) ilegal. Secara hukum perdata tidak ada yang salah dalam perjanjian antara peminjam dan pemberi pinjaman. Namun, di sisi lain, ada keselamatan warga yang terancam lewat praktik tak etis yang kerap dilakukan perusahaan pinjol ilegal.
“Tapi kini pemerintah telah memilih untuk mengubah cara berpikir dalam menegakkan hukum, keselamatan masyarakat menjadi fokus utama dalam menjalankan hukum terkait penanganan pinjol ilegal ini,” ujarnya, Jumat (11/2).
Mahfud bercerita, praktik pinjol ilegal sudah lama berlangsung dan hal itu masuk ke dalam perjanjian perdata. Jika ada laporan dari warga, pinjol ilegal sulit ditindak oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) karena lembaga itu hanya mengawasi fintech P2P (peer to peer) lending yang legal.
Dia menambahkan, pihaknya sempat berdiskusi dengan Kabareskrim Polri atas masalah pinjol ilegal yang semakin meresahkan masyarakat. Di situ, Polri mengaku tidak dapat berbuat banyak karena peminjam sudah setuju dengan syarat yang diajukan pemberi pinjaman bahwa data pribadinya di telepon seluler dapat diakses.
“Saya kemudian dipanggil Presiden. Saya bilang ini perjanjian perdata dan resmi secara hukum. Enggak bisa ditindak karena semua perjanjian biasa, bersedia membayar. Lalu Presiden bilang, masa orang jahat enggak bisa ditindak? Masa jelas-jelas jahat, enggak ada hukumnya?” ungkap Mahfud.
Hal itu yang mendorongnya untuk mengumpulkan para pihak terkait, yakni OJK, Bank Indonesia (BI), Polri, dan lainnya, untuk menyatakan bahwa praktik berbisnis pinjol ilegal itu masuk kategori kejahatan, serta syarat subjektif dan objektif tidak dapat dipenuhi. Dengan dasar itu bisa dilakukan penindakan hukum.
“Dari situ terjadi operasi besarbesaran. Sampai 2-3 hari lalu masih terjadi penggerebekan terhadap pinjol ilegal ini. Nah itu yang mungkin salah satu contoh perubahan cara berpikir. Karena kalau kita ikuti terus asas itu, enggak bisa bertindak kita, dan itu benar,” ujarnya.
“Oleh sebab itu, perlu keputusan politik untuk menindak hal tersebut. Misalnya arahan atau rapat bersama bahwa ini harus dianggap begini dulu, baru aturannya dibuat. Kalau sudah ada perintah Presiden, kita bisa mengatasnamakan ini sebagai hukum,” sambung Mahfud.
Ia meminta para pemangku kepentingan untuk membuka pikiran terhadap kejahatan yang dibungkus melalui wadah resmi atas nama kesepakatan keperdataan dan sebagainya.
Menurutnya, pemerintah harus mengambil langkah hukum yang tepat untuk mengatasi hal tersebut.
“Keselamatan rakyat itu hukum tertinggi. Kalau tujuannya untuk menyelamatkan rakyat, hukum yang resmi itu dikesampingkan dulu. Karena hukum yang lebih tinggi dari hukum yang resmi adalah menyelamatkan rakyat. Itulah tujuan kita bernegara, untuk menyelamatkan rakyat,” tuturnya.
