TIFA

Perempuan dan Seni Kontemporer

Min, 24 Apr 2022

 
Setelah melewati pintu masuk gedung A Galeri Nasional Indonesia, kita akan disambut dengan sembilan figur yang berdiri dengan mengenakan balutan busana dan perhiasan dari berbagai daerah Nusantara. Setelah didekati satu per satu, figur perempuan berwujud patung golek setinggi kurang lebih dua meter itu mewakili gambaran atau image dari Siti Asiyah (istri Firaun), Dewi Kuan Im (dari kepercayaan Buddha), Maryam (ibunda Yesus), Siti Khadijah (istri Nabi Muhammad), Dewi Saraswati (lambang pengetahuan dan kreativitas), Siti Fatimah (putri Nabi Muhammad), Siti Hajar (istri Ibrahim), Tahirih (perempuan suci dari kepercayaan Bahai), dan Dewi Sri (dewi kehidupan dan kesuburan).
Patung-patung tersebut merupakan mahakarya dari Sri Astari Rasjid (1953) yang berjudul Sembilan Mutiara dari Surga. Karyanya tersebut ditam­pilkan di Pameran Indonesian Women Artists: Infusions into Contemporary Art. Tak hanya Astari, ada pula karya dari sembilan perempuan perupa lainnya yang terpilih, berusia antara 53 dan 74 tahun.
“Kami memilih sepuluh perempuan ini bukan hanya karena estetika, tapi karena makna dan pemikiran mereka sejak dua dekade yang selalu merujuk ke arah yang lebih baik. Karya-karya mereka dari waktu ke waktu bereksplorasi untuk mewujudkan visi dan pendapat mereka mengenai kemanusiaan, negara, dan kebaikan dunia,” kata salah satu kurator pameran, Carla Bianpoen, saat dihubungi Media Indonesia, Rabu (20/4).
Bergerak ke ruang yang berbeda, terdapat karya gaun-gaun yang tampak horizontal, yang bila dipikirkan gaun-gaun tersebut tidak mungkin untuk bisa dipakai. Ini ialah satu satu dari karya perupa Mella Jaarsma (1960) berjudul Wearing the Horizontal. Karya ini menggambarkan gaun yang hampir tidak mungkin dikenakan. Sebab, bentuknya horizontal dan belum wearable.
Lewat gaun horizontal tersebut, pikiran kita bisa melonjak ke masa depan yang mana kita akan ‘berbaring’ menuju kematian. “Baju yang horizontal atau seperti horizontal membawa kita kepada masa depan yang suatu saat kita harus berbaring,” katanya saat dihubungi Media Indonesia, Rabu (20/4).
Di sudut yang berbeda, tampak pula karya Mella lainnya yang juga berupa kostum kain kulit kayu yang dijahit tangan bertajuk A Taste of Behind. Karya ini memperbincangkan soal norma dalam berpakaian yang selalu berubah-ubah mengikuti tren. Seniman mencoba memulai tren baru dengan menampilkan bagian tubuh manusia yang biasanya masih tertutup, yaitu pantat.
Pakaian kulit kayu memang sudah dipakai di Indonesia selama ribuan tahun dan pada masa kolonial, sebagian besar menutupi alat kelamin. Lalu, pada masa kolonial, masyarakat dikondisikan untuk mengubah desain pakaian kulit kayu mereka, guna menutupi kulit tubuh mereka lebih lengkap dengan memakai serat kain.
Mengalihkan pandang ke arah lain, tampak lukisan dengan garis dan bentuk kotak-kotak yang berwarna terang dan gelap. Setelah mendekati keterangan karya yang berada tak jauh dari karya yang dipajang, lukisan bertajuk An-Nisa 2021 dengan cat akrilik di atas kanvas berdimensi 180x500 cm ini merupakan karya dari Nunung WS (1948).
Dijelaskan bahwa lukisan tersebut terinspirasi dari ketertarikannya akan kaligrafi Arab. An-Nisa’ ialah tulisan singkat-pendek yang hanya terdiri dari 6 huruf, yaitu alif, lam, nun, sin, alif, ain. Akan tetapi, maknanya sangat dalam.
“Saya mencoba membuat abstraksi Kaligrafi Arab pada karya ini. Melalui An-Nisa, saya ingin menyampaikan bahwa ada rasa-ruang yang subtil/dimensi keilahian,” katanya, dalam keterangan karya.
Lukisan lainnya dari Nunung berjudul Lukisan Bulan Juli 2020, bertarikh 2020. Lukisan ini memiliki karakter lipatan dari kain tenun. Ada pula lukisan akrilik berjudul Lukisan 2020 di kanvas berdimensi 160x270 cm dan lukisan akrilik bertajuk Lukisan 2018 berukuran kanvas 150x150 cm, yang terinspirasi dari kain tenun.
Berpindah ke bagian yang lain, pengun­jung dapat menyaksikan performance berdurasi lima jam karya dari Melati Suryodarmo (1969) bertajuk Amnesia. Dijelaskan dalam keterangan karyanya bahwa Amnesia ialah performance yang berdurasi lima jam, yang menciptakan ruang misteri hubungan manusia dengan sejarah bangsanya dari sisi paling personal, yang meng­­ajak tubuh-tubuh lupa, mengumpulkan serpihan ingatan, dan rasa yang berserakan.
Tidak jauh dari tempat itu, tampak satu kapal besar dan dua kapal berukur­an lebih kecil. Sesosok berjubah emas berdiri di atas masing-masing kapal. Jubah tersebut dibentuk dari sekitar 12 ribu butir biji pala yang dibawa langsung dari tanah Maluku dan Sulawesi Utara, dilapisi tembaga dan disepuh emas. Biji pala mengingatkan kita pada sejarah kelam pembantaian bangsa Banda di 1620-1621.
Sementara itu, kapal tersebut ialah kapal Aceh-Madura-dan Banten yang memiliki senjata berupa meriam, tombak dan perisai. Karya bertajuk History Repeats Itself dari Titarubi (1968) ini merupakan hasil penelusuran latar belakang gagasan yang panjang. Jubah-jubah hadir di atas kapal-kapal sebagai simbol perlawanan.

Riset lapangan
Ruangan lain di gedung A ini meng­antarkan kita pada karya Indah Arsyad, instalasi video digital The Ultimate Breath yang juga terdapat kotak akrilik, bejana kaca air, hingga suara. Karya ini terinspirasi dari keprihatinan seniman akan pencemaran lingkungan, di mana eksploitasi alam secara besar-besaran mengakibatkan perubahan iklim global.
Indah mengungkapkan bahwa ia melakukan riset dan observasi lapangan dengan mengambil sampel air laut di tiga titik lautan Indonesia yang rentan akan pencemaran air. Kemudian, sampel dibawa ke Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Gerakan fitoplankton menjadi bagian penting dalam konten instalasi video ini. Sementara pemilihan simbol-simbol wayang diyakini Indah memiliki filosofi yang sangat dalam, khususnya dalam budaya Jawa yaitu keseimbangan alam semesta dengan lingkungan dan seluruh penghuni bumi.
Keluar dari ruangan yang dibatasi kain hitam, terlihat susunan bendera yang bertuliskan pemilihan kata-kata yang terdapat di Nusantara. Sekitar 10 bendera dengan beragam warna dan kata dalam karya bertajuk The Flag Project (Nusantara Series). Bendera-bendera ini mengarahkan kita ke ruang­an dokumentasi video performance dari Arahmaiani (1961).
Di ruangan sebelahnya, terlihat lukisan akrilik Lingga Yoni karya Arahmaiani di atas kanvas berdimensi 140x120 cm, tarikh 2019. Lalu, disambut karya Dyan Anggraini (1957) yang beberapa menjelaskan terkait perempuan, salah satunya lukisan bertajuk Di Tanganmu dengan goresan pensil dan minyak di atas kanvas berdimensi 150x250 cm, tarikh 2022.
Dalam ruangan terakhir di gedung A, pengunjung dapat melihat video dari sepuluh seniman yang membahas terkait karya-karya mereka. Tentu, ini akan membawa kita lebih mengenal sosok-sosok perempuan yang sekitar dua dekade berkarya.
Tak sampai disitu, kita mengarah ke gedung B yang tak jauh dari posisi keluar dari gedung A. Di gedung B, kita dapat melihat karya-karya dari Dolorosa Sinaga (1952) dan Bibiana Lee (1956). Salah satu karya Dolorosa di ruang pamer ialah Aku dan Ajal dengan fiberglass atau serat kaca berukuran 95x48x74 cm, tarikh 2022.
Di ruang selanjutnya, kita dihadapkan dengan karya-karya dari Bibiana Lee yang memukau dengan lampu neon merah yang menerangi seisi ruangan. Salah satu karyanya ialah I Am Not A Virus dengan instalasi empat samsak yang dijadikan metafora bagi orang Asia, khususnya keturunan Tionghoa yang biasanya pasif, yang telah dilecehkan baik secara verbal dan fisik seperti samsak yang pasif selama pandemi.
Dalam keterangan karyanya dijelaskan xenophobia/hate crime terhadap orang Asia muncul di seluruh dunia, ditombak oleh ketidaktahuan dan hoaks tentang virus korona dan retorika oleh orang-orang berkuasa yang tidak....

Belum selesai membaca berita ini ? Selesaikan dengan berlangganan disini Berlangganan

Advertisement

Advertisement