EDSUS HUT RI

Perempuan Pulih dan Bangkit dengan UU TPKS

Sel, 16 Agu 2022

PANDEMI covid-19 mengakibatkan dampak serius pada perempuan dan anak. Selain isu kesehatan dan ekonomi, ancaman kekerasan seksual membayangi dan terbukti melonjak selama pandemi. Ruang-ruang paling privat, dan atatu rumah, yang semestinya menjadi tempat ruang aman, selama pandemi ini justru menjadi tempat yang paling rentan dan mengancam keamanan perempuan dan anak. Pergeseran pola komunikasi yang serba tatap muka menjadi serba digital di dunia maya menimbulkan ancaman lain yakni kekerasan siber. Angka kekerasan berbasis gender online (KBGO) melonjak drastis hingga tiga kali lipat.

Pengesahan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) menjadi angin segar untuk dapat mengembalikan tatanan kehidupan dan menjamin hak perempuan dan anak untuk mendapatkan keamanan. Deputi Bidang Pelindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (KemenPPPA), Ratna Susianawati menuturkan UU TPKS menjadi terobosan yang dapat mengubah sistem hukum Indonesia agar lebih sensitive gender dan berperspektif korban. Ia juga mengatakan UU ini dapat menjadi ujung tombak bagi perjuangan kita untuk memberikan ruang aman terhadap perempuan di mana pun.

Dalam UU TPKS, kata Ratna kualifikasi jenis tindak pidana kekerasan seksual secara tegas telah dengan rinci disebutkan. Selain itu pe ngaturan hukum acara juga telah komprehensif. “UU TPKS ini telah mencakup semua aspek. Selain itu juga telah dirancang untuk memberikan penguatan terhadap pelaksanaan prinsip penyelenggaraan pelayanan terpadu melalui mekanisme ‘One Stop Services’. Di mana seluruh pengaduan dipusatkan pada pelayanan SAPA 129. Kita mewajibkan pemerintah daerah untuk membentuk UPTD PPA sebagai pusat pelayanan dan pengaduan untuk daerah,” kata Ratna kepada Media Indonesia, Selasa (9/8).

Meski telah banyak terobosan yang tertuang dalam UU TPKS, Ratna menyadari masih banyak yang perlu dibenahi agar cita-cita dari UU tersebut bisa diimplementasikan dengan sebagaimana mestinya.

“Yang harus terus kita dorong adalah bagaimana efektivitas dan implementasi dari UU ini. UU ini juga mengamanatkan berbagai mandatorial untuk menyusun peraturan pelaksana. Kita masih punya tugas untuk menyusun aturan-aturan operasional yang nanti akan mendetailkan terkait teknikal, bagaimana pola kerja sama, mekanisme yang harus dibangun dalam menciptakan mekanisme koordinasi dan juga penyelenggaraan dari unit-unit kelembagaan yang saat ini sudah ada dan memaksimalkan fungsi itu agar berjalan dengan baik,” imbuh Ratna.

Sementara itu, Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dari Kekerasan Dalam Rumah Tangga Kemen PPPA, Ali Khasan menyampaikan sampai saat ini pihaknya masih terus melakukan pengayaan untuk merancang aturan turunan yang sifatnya teknis agar komprehensif.

“Berdasarkan ketentuan dalam UU ini, memang sebelum 2 tahun sudah harus rampung. Namun, kami berusaha sesuai dengan komitmen kita, pemerintah, tentunya juga dengan masyarakat sipil, sebelum 2 tahun diharapkan sudah selesai. Kemudian, dari peraturan pelaksana ini, kan memang di dalam perumusannya enggak semudah yang dibayangkan,” jelas Ali.

Ia menegaskan, dalam peraturan pelaksana, perlu memperhatikan muatan substansi, termasuk bagaimana menyikapi keberadaan faktor geografi s. “Indonesia ini kan ada 3T, itu harus kita perhatikan. Karena implementasi UU TPKS ini kemudian dijabarkan melalui PP maupun perpres, maka PP dan perpres itu juga harus memperhatikan faktor geografi s yang ada sehingga nanti PP dan perpresnya bisa implementatif,” tambahnya.

Senada, Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) Willy Aditya menuturkan UU TPKS tidak akan bisa mengubah apa pun jika implementasinya tidak sejalan dengan semangat UU tersebut. “Di kita itu, kurangnya inisiatif. Level bawah selalu menunggu dari atas. Model top-down ini yang membuat program-program yang baik jadi susah dieksekusi. Meskipun dalam kaitan dengan UU TPKS sebenarnya ini sudah bisa diterapkan dan digunakan oleh aparat penegak hukum, terutama dalam melakukan penindakan terhadap kasus-kasus kekerasan seksual baik delik pidana maupun hukum acaranya,” tutur Willy.

“Sayangnya, jika hanya ini saja maka UU TPKS belum utuh sepenuhnya. Karena dalam UU TPKS ini kan ada proses preventif dan rehabilitatif. Keduanya tidak hanya membutuhkan perangkat negara tetapi juga membutuhkan kemauan bersama dalam membangun literasi tentang kekerasan seksual. Sebesar apa pun dorongan penggunaan aparatus negara dalam mengimplementasikan UU TPKS tetap harus juga di ingat bahwa regulasi tidak bisa menjawab semua persoalan,” sambung dia.

Willy mengingatkan agar dalam implementasi UU TPKS, semua pihak (pemerintah dan masyarakat sipil) harus menentukan demand side dalam berbagai jenis kekerasan seksual sehingga implementasi atas setiap jenis kekerasan akan berbeda penanganannya. Ini juga berkaitan dengan apa yang harus dilakukan masing-masing sektor sebagai bentuk impementasi UU TPKS ini.


Integrasi

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Bintang Puspayoga mengatakan UU TPKS telah disosialisasikan ke para penegak hukum. Menurut dia, penegak hukum menjadi pihak yang paling pertama untuk diberikan pemahaman terkait regulasi ini.

“Kalau saya pikir implementasinya dari teman-temen penegak hukum sudah siap. Karena mereka masuk dalam gugus tugas untuk kita meng awal daripada tim pemerintah, sampai ke proses pengesahan dari UU TPKS ini. Kami sudah komunikasi intens baik dengan jajaran Pak Kapolri bersama dengan jajarannya, bersama dengan Jaksa Agung. Kami melihat sudah ada unit PPA di tingkat jajaran Polri, Polda, Polres,” kata Bintang kepada Media Indonesia, Jumat (12/8).

Namun, lanjutnya, unit-unit PPA yang ada saat ini masih sangat terbatas untuk penyidik maupun tenaga layanan untuk menangani korban kekerasan seksual. Bintang mengungkapkan korban kekerasan seksual yang mayoritas perempuan dan anak, sangat riskan apabila korban harus mendatangi unit pelayanan, atau mengadukan ke polres atau polda.

“Kami inginnya korban itu hanya sekali mengadukan kasus itu kepada petugas, lalu petugas yang bergerak. Jadi korban tidak bercerita berkali-kali. Karena trauma itu akan berulang kali dialami korban,” tambahnya.

Bintang mengatakan pihaknya telah melakukan pelatihan terintegerasi kepada Antara aparat penegak hukum. “Ada polisi, jaksa, hakim, peksos, pendamping, kita duduk bersama melakukan pelatihan sehingga kita punya kacamata dan perspektif yang sama dalam penanganan suatu kasus,” lanjut Bintang.

Dengan membentuk unit pelayanan terpadu atau UPTD yang baru sesuai yang dimandatkan UU TPKS ini, Bintang meyakini pasti akan ada lonjakan pelaporan kasus kekerasan seksual. Bahkan sejak pertengahan Desember 2021 lalu, lonjakan pelaporan itu telah terjadi. “Kasus kekerasan itu memang fenomena gunung es. Kasus yang terlaporkan dengan realita yang terjadi jauh lebih banyak. Namun, belakangan ini tiada hari tanpa pelaporan kekerasan. Namun, menurut kami, ini adalah praktik baik. Ini situasi yang baik. Karena kita akan memberikan keadilan bagi korban dan efek jera kepada pelaku ketika korban berani melapor,” tandasnya.....

Belum selesai membaca berita ini ? Selesaikan dengan berlangganan disini Berlangganan

Advertisement

Advertisement