NUSANTARA

Petambak tanpa Panen Garam

Rab, 03 Agu 2022

ABRASI dan efek dominonya tidak hanya dialami nelayan di Desa Waruduwur, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon. Petambak garam di Kecamatan Pangenan, yang berjarak sekitar 6 kilometer, juga mengalami kondisi yang sama.

“Kalau tidak pasang, kelihatan kubusnya,” tutur Ismail, petambak garam asal Desa Rawaurip, Pangenan, sambil menunjuk areal tambak garam yang berbatasan langsung dengan pesisir Cirebon.

Kubus adalah sebutan warga setempat untuk pemecah gelombang yang sebenarnya sudah ada di pesisir Pangenan.

Tumpukan batu berbentuk kubus dengan tinggi 2 meter dan panjang sekitar 30 meter terbentang dari Desa Pangenan hingga Desa Rawaurip, yang selama ini memisahkan tambak garam dengan laut.

Pemecah gelombang itu pula yang menjadi penyelamat bagi tambak garam di pesisir Pangenan. Sebelumnya, ketiadaan mangrove menjadikan lahan warga terendam bahkan terkikis oleh gelombang pasang air laut.

Namun, keberuntungan petambak garam tidak berlangsung lama. Sejak tiga tahun lalu keberadaan pemecah gelombang tiada arti. “Seperti sekarang, pemecah ombak tidak terlihat sama sekali, rata oleh laut,” lanjutnya.

Dalam kondisi normal, seharusnya pada Juli petambak garam sudah panen. Mereka sudah mengolah lahan sejak Mei.

Sebulan setelah pengolahan lahan, petambak bisa panen mulai Juni hingga Agustus. “Pada 2019 lalu saya bahkan bisa panen hingga Oktober. Jadi bisa dapat 80 ton,” tutur Ismail.


Cuaca buruk

Namun, tahun ini, Ismail dan juga petambak lainnya harus gigit jari.

Hujan yang terus turun ditambah dengan banjir pasang air laut menyebabkan mereka tidak bisa mengolah tambak garamnya.

Lahan tambak seluas 7.500 meter persegi milik Ismail tidak bisa diolah.

Bulan ini, sudah masuk kemarau, saat yang tepat untuk mengolah tambak garam. “Tapi lihat sendiri kondisinya sekarang, tambak masih terus terendam air laut,” tuturnya.

Keberadaan kubus yang seharusnya bisa menjadi penyelamat justru kini tidak terlihat lagi.

Tidak hanya Ismail, Satori, petambak lainnya di Desa Rawaurip, juga mengalami hal yang sama. Hingga kini belum bisa mengolah lahan. “Masih penuh air laut,” tambahnya.

Satori mengakui tahun ini pasang air laut cukup parah sehingga petambak tidak bisa melakukan pengolahan lahan.

Dia mengaku pernah mencoba untuk menggarap lahan. Namun, baru satu minggu, hujan sudah turun lagi.

“Setelah itu diterjang rob, jadi gagal menggarap,” tandasnya.

Padahal saat ini harga garam sedang tinggi. Satu kilogram dihargai Rp1.200. Satori dan Ismail sudah tidak punya stok yang bisa dijual lagi. “Sudah terjual semua pada pertengahan tahun,” ungkap Ismail.

Para petambak mengaku sudah mengadukan kerusakan pesisir pantai Cirebon ini kepada Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko. “Kami dijanjikan revitalisasi pesisir pantai Cirebon, tapi sampai sekarang belum ada.” (....

Belum selesai membaca berita ini ? Selesaikan dengan berlangganan disini Berlangganan

Advertisement

Advertisement