MENTERI Kebudayaan Fadli Zon mengatakan bakal menerbitkan 11 jilid buku di proyek penulisan ulang sejarah. Seluruhnya, menceritakan sejarah awal mula Nusantara hingga era reformasi.
“Tentang buku, Jilid 1 sejarah awal Nusantara. Jadi kita tidak sebut lagi prasejarah. Karena ini prasejarah ini mengacunya seolah-olah sejarah kita ini dimulai dari abad ke 4,” kata Fadli saat rapat kerja (raker) di Komisi X DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, kemarin.
Jilid kedua bertajuk Nusantara dalam jaringan global India dan Tiongkok. Sementara jilid ketiga yakni Nusantara dalam jaringan global Timur Tengah.
“Kita memasukan temuan-temuan sebagai contoh masuknya Islam ke Indonesia dengan ditemukannya situs Bongal beberapa tahun lalu di Tapanuli Tengah di Sumatra Utara ternyata Islam masuk lebih awal, dalam catatan sejarah kita Islam masuk di abad ke-13. Dengan adanya temuan di situs Bongal ternyata islam masuk lebih awal di abad ke 7 Masehi,” jelas Fadli.
Jilid selanjutnya, kata Fadli, terkait interaksi dengan barat. Kemudian kompetisi dan aliansi, respons terhadap penjajahan hingga pergerakan kebangsaan. “Ketujuh adalah perang kemerdekaan Indonesia, yang kedelapan masa bergejolak dan ancaman terhadap integrasi,” tutur Fadli.
Saat ini buku Sejarah Nasional Indonesia (SNI) sejatinya terbit dalam enam jilid. Jilid 6, sering disebut sebagai Zaman Jepang & Zaman Republik. Dalam menyusun ulang sejarah, pihak Kementerian Kebudayaan akan melibatkan 113 sejarawan. Jumlah ini terdiri dari guru besar, profesor atau doktor di bidang sejarah.
Fadli Zon mengungkap sejumlah alasan utama soal penulisan ulang sejarah. Salah satunya menghapuskan bias kolonial. Alasan lainnya yaitu menjawab tantangan kekinian dan globalisasi. Selain itu, untuk membentuk identitas nasional yang kuat. “Lalu, menegaskan otonomi sejarah, sejarah otonom,” ucap dia.
Fadli mengatakan penulisan ulang sejarah juga penting untuk memberikan relevansi untuk generasi muda. Lalu, memperkuat identitas keindonesiaan. “Dan reinventing indonesian identity,” ucap Fadli.
Sementara itu, anggota DPR Fraksi Golkar Juliyatmono, mempertanyakan pemberi mandat penulisan ulang sejarah. “Apakah ini mandat pemerintah atau negara. Lalu landasan konstitusinya seperti apa? Ini agar mandat penulisan memiliki kekuatan hukum yang baik. Secara umum, kajian apapun, menulis sejarah itu penting dan strategis,” ujarnya.
Sebelumnya, sejumlah sejarawan dan tokoh publik yang tergabung dalam Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) menolak proyek penulisan sejarah resmi Indonesia yang digagas Kementerian Kebudayaan RI. Hal itu disampaikan dalam sebuah manifesto yang dibacakan pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi X DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakart....