REVISI Undang-Undang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) tampaknya kembali akan menjadi panggung teknokratis: membahas angka-angka, tanpa wajah para pelakunya. Padahal, di balik isu devisa dan diplomasi, ada soal tubuh perempuan yang disiksa, jiwa yang nestapa, rumah tangga berantakan, anak ditelantarkan di saat negara sibuk menghitung pemasukan devisa dan pengurangan angka pengangguran. Demi keadilan sosial dan kemanusiaan, revisi UU P2MI harus menggunakan perspektif feminisme Pancasila.
Revisi UU P2MI akan berkaitan dengan 29 poin perubahan dengan durasi pembahasan terbatas. Namun, di balik jargon efisiensi dan kemudahan akses keberangkatan, siapa para perempuan migran yang menjadi taruhannya? Apakah legislasi ini akan mempertebal perlindungan, atau justru memperkuat sistem yang selama ini menganggap perempua....