SEUSAI timnya menahan imbang Inggris tanpa gol di laga kedua penyisihan Grup B, Sabtu (26/11) dini hari, pelatih Amerika Serikat Gregg Berhalter mengatakan agar laga berikut timnya kontra Iran jangan dikait-kaitkan dengan politik. Seperti kita tahu, selama ini hubungan pemerintah AS dengan negara yang dipimpin Ebrahim Raisi itu memang kurang baik. “Kami dan mereka sama-sama pemain bola, kami berkompetisi. Itu saja. Politik jangan dibawa-bawa ke lapangan,” ujarnya.
Pernyataan Berhalter menarik dan mungkin juga naif. Kendati dalam regulasi FIFA (badan sepak bola dunia) diatur larangan untuk membawa simbol, pernyataan, maupun sikap politik di dalam lapangan, baik oleh pemain maupun penonton, faktanya itu sering dilanggar. Ungkapan bernada rasisme, pengibaran bendera Palestina yang dianeksasi Israel, dan salam salute/hormat ala Nazi adalah beberapa contoh sikap atau pernyataan politik yang kerap menyusup dalam sepak bola.
Apa yang dilakukan tim Jerman yang berpose sambil menutup mulut jelang laga lawan Jepang di Piala Dunia tahun ini juga merupakan sikap atau pernyataan politik untuk memprotes larangan mendukung LGBT yang diterapkan FIFA dan tuan rumah. Sebelumnya, mereka berencana mengenakan ban kapten warna pelangi sebagai simbol dukungan terhadap kaum lesbian, gay, biseksual, dan transgender. Beberapa tim Eropa Barat lainnya, seperti Inggris dan Denmark, juga mengecam FIFA yang membungkam hak asasi tentang LGBT selama Piala Dun....