Mendampingi korban kekerasan gampang-gampang susah. Lebih susah lagi karena ternyata di lapangan regulasi tidak memudahkan bagi petugas pendamping korban seperti Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK Jakarta. Koordinator Divisi Perubahan Hukum LBH APIK Jakarta Dian Novita mengatakan KDRT masih menjadi kasus yang cukup sulit untuk ditangani secara komprehensif.
Salah satu masalahnya ualah layanan visum. Dian menuturkan Jakarta sudah punya peraturan keputusan gubernur terkait pelayanan visum tidak berbayar bagi korban kekerasan sejak 2017 di beberapa rumah sakit. Namun, dalam implementasinya, tidak mudah untuk mendapat layanan tersebut karena tidak semua rumah sakit mengetahui peraturan itu. Kalaupun ada, ternyata tidak benar-benar gratis alias masih ada pungutan biaya, misalnya Rp300 ribu. Masalah lain ialah ketidaksamaan perspektif aparat penegak hukum.
“Ketika korban sudah melaporkan, di tengah proses biasanya korban akan mencabut laporan dan berakhir damai. KDRT juga menjadi jenis kasus yang cukup sulit ditangani karena aparat penegak hukum (APH) baru akan menindak jika ada kekerasan fisik, sementara untuk jenis kekerasan KDRT dalam bentuk psikologi dan ekonomi justru APH akan mendamaikan korban dengan pelaku,” jelasnya kepada Media Indonesia di Jakarta, Selasa (3/7).