MENGHADIRKAN pendidikan vokasi yang mapan memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Banyak tantangan dan pola yang perlu ditransformasi. Jika tidak, orangtua yang memiliki anak yang duduk di bangku SMP lebih memilih melanjutkan ke SMA ketimbang SMK, dan siswa SMA lebih memilih masuk ke kampus umum ketimbang kampus vokasi.
Dalam kesempatan lain, pada artikel berjudul Arah Pendidikan Vokasi Indonesia yang juga dimuat di harian Media Indonesia (20/7/2020), saya pernah menuliskan ada stereotip, bahwa mereka yang masuk SMK merupakan ‘buangan’ karena tidak diterima di SMA, mengakar kuat di masyarakat. Ada humor lama yang nyelekit, ‘masuk ke SMK itu bagus bagi anaknya orang lain, bukan anaknya sendiri’. Sindiran ini juga dihadapi mereka yang masuk D-1 hingga D-3 kampus vokasi, yang dianggap hanya karena tidak diterima di S-1. Faktanya, di negara-negara maju pendidikan vokasi baik pada level SMK atau perguruan tinggi sangat diminati. Pertimbangan orangtua lebih kepada minat bakat siswa dan peluang kerja yang lebih besar.
Mafhum diketahui, permasalahan pendidikan vokasi sejak dulu masih berputar pada lingkaran yang sama, yaitu lulusannya kurang kompetitif dan sulit mencari pekerjaan. Baik pada level sekolah (SMK) maupun kampus vokasi, seperti politeknik, universitas (vokasi), institut, sekolah tinggi, dan akademi. Jerman berhasil mengoptimalkan fungsi sekolah vokasi (berufsschule). Dengan menerapkan model dual system, hasilnya mereka memiliki jumlah pengangguran paling sedikit di Eropa. Banyaknya perusahaan di dalam negeri dimanfaatkan sangat baik dengan menerapkan model pendidikan ini sebagai bentuk kolaborasi ideal triple helix antara sekolah, pemerintah, dan industri. Bahkan saat ini masuk ke arah penta helix dengan me....