BEBERAPA waktu lalu diberitakan bahwa Presiden Joko Widodo kaget dengan rasio jumlah penduduk Indonesia di jenjang S-2 dan S-3. Jika menilik data BPS rentang 2016-2022, sesungguhnya Presiden tak perlu kaget sebab sudah terlihat betapa angka partisipasi kasar (APK) di tingkat perguruan tinggi memang masih kecil (berturut-turut 23,34 di 2016, 25 pada 2017, 25,12 di 2018, 30,28 pada 2019, 24,42 di 2020, 26,09 pada 2021, 31,16 di 2022, dan 31,45 pada 2023).
Jika basisnya ialah deretan angka statistik, dari segi capaian memang ada peningkatan selama beberapa tahun terakhir. Namun, jika diselisik lebih detail, mereka yang dapat mencapai pendidikan tinggi merupakan penduduk yang memiliki status ekonomi tinggi (BPS, 2023). Terang pendidikan tampaknya belum dinikmati oleh segenap bangsa Indonesia. Jika menyimak data rata-rata lama sekolah (RLS) di 2022, masih 9,08 atau setara anak SMP kelas 9. Jadi penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas rata-rata hanya mengenyam pendidikan hingga jenjang SMP kelas 9.
Jika memperhatikan data tersebut, peluang mereka yang memiliki kualifikasi akademik tersebut memiliki keterbatasan untuk mendapatkan pekerjaan-pekerjaan formal. Mereka cenderung bekerja di sektor-sektor pekerjaan informal. Akses pendidikan dan pelatihan yang tak memadai membuat transisi anak-anak Indonesia ke dunia kerja tak berjalan mulus. Mereka yang diproyeksikan untuk langsung memasuki pasar kerja saja, para lulusan SMK, masih memiliki ragam hambatan. Pada Agustus 2023, tingkat pengangguran terbuka (TPT) tamatan sekolah menengah kejuruan sebesar 9,31% dan merupakan....