POLEMIK pemberian dana hibah oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menjadi sorotan publik. Pemicunya ialah karena anggaran itu diberikan kepada organisasi yang terafiliasi dengan orang dekat gubernur, wakil gubernur, hingga anggota DPRD DKI Jakarta.
Usulan pemberian dana hibah yang tertuang dalam rencana APBD DKI Tahun 2022 dan memicu kontroversi, di antaranya untuk Yayasan Pondok Karya Pembangunan (PKP) Rp486 juta dan Yayasan Bunda Pintar Indonesia (BPI) sebesar Rp900 juta. Bahkan, BPI tidak terdaftar secara administrasi di Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM.
Dana hibah untuk kedua yayasan ini menjadi persoalan karena di nilai ada konflik kepentingan. Maklum, PKP merupakan yayasan yang dipimpin ayah Wakil Gubernur Ahmad Riza Patria, sedangkan BPI ialah yayasan binaan Wakil Ketua DPRD DKI Zita Anjani.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Armand Suparman menilai adanya kekurangan pada regulasi soal ketentuan pembe rian dana hibah. “Yang menjadi kekurangan dari regulasi saat ini di regulasi Mendagri itu enggak ada ketentuan seperti apa pengawasan publik,” kata Armand ke pada Media Indonesia, akhir pekan lalu.
Seharusnya, kata dia, publik bisa mengetahui dan pemerintah perlu membuka sistem yang bisa memperlihatkan siapa saja yang mengajukan permohonan hibah, layak atau tidaknya.
Padahal, menurut Armand, bahwa anggaran hibah merupakan salah satu bagian dari belanja operasinya pemerintah daerah. Apalagi, di sisi hukum tentu adanya anggaran dana hibah itu bukanlah suatu persoalan karena anggaran dana hibah ini diberikan kepada nirlaba nonprofit.
Ia mengingatkan agar pemerintah segera membuka sistem yang membuat publik bisa melihat apa saja yayasan atau lembaga yang dikabulkan untuk mendapat dana hibah tersebut.
“Dari situ publik bisa melihat yang dikabulkan oleh pusat seperti apa, dalam arti harus memberikan mandat kepada pemda dan pemerintah pusat untuk membuka prosesnya sehingga yang diberi, yang masuk ke penerima hibah itu sudah diketahui publik dari masukan proposal sampai yang diterima,” tambahnya.
KPPOD dalam hal ini sudah mendorong agar pemerintah segera membuka proses dana hibah ini secara transparan. Hal itu dilakukan agar masyarakat bisa mengetahui sehingga tak membuka ruang untuk konfl ik kepentingan, khususnya pejabat publik. Pemprov DKI, lanjut Armand, sudah seharusnya membuka data terkait siapa yang mengajukan dan mendapatkan dana hibah agar tak ada salah paham.
“Karena yayasan itu pasti ajukan proposal, ada datanya, misalnya 100 yayasan atau lembaga mengirim, nantinya pemda akan melakukan seleksi, nanti dari 100 yang masukkan, katakanlah 10 yang masuk. Nah, publik itu harusnya bisa melihat ini. Sepuluh ini bisa tembus karena kriteria atau hanya karena ada kedekatan tertentu dengan pejabat?”
Keterbukaan informasi ini tujuannya menghindari adanya konflik politik di DKI Jakarta. “Buka datanya, hal ini perlu untuk menghindari tudingan atau kecurigaan publik yang menerima hibah ini orang yang berkuasa. Ini kan dana hibah 2022, jadi punya kesempatan untuk mengubah dengan coba melihat lagi siapa saja yang layak dapat dana hibah,” katanya.
Menurut dia, untuk waktu di masa mendatang perlu di buatkan regulasi yang jelas di level pemerintah pusat hingga pemerintah daerah soal mekanisme pembagian dana hibah agar publik bisa terlibat dalam prosesnya.