HIBURAN

Definisi Konten tak Jelas bisa Jadi Jebakan

Min, 05 Mei 2024

PENAMBAHAN definisi dan cakupan tentang penyiaran yang meluas, seperti termuat dalam draf RUU Penyiaran tentang konten siaran adalah materi siaran digital yang diproduksi oleh penyelenggara platform digital penyiaran dan/atau penyelenggara platform teknologi penyiaran lainnya, disebut bakal berimbas pada pengawasan ke ranah yang lebih luas, termasuk platform streaming, OTT, bahkan ke kreator konten individu.

“Dari pasal-pasal yang ada di RUU Penyiaran, itu disebutkan bisa dilakukan secara serempak atau bisa diakses kembali di platform. Ini mengindikasikan, ada pelaku penyiarannya, ada platform. Nah, pelaku penyiaran di sini tidak didefinisikan dengan jelas. Jika demikian, ini bisa mencakup siapa pun,” kata Direktur Program Remotivi Muhamad Heychael saat dihubungi Media Indonesia melalui sambungan telepon, Selasa (30/4).

Dalam analisis Heychael, melalui RUU Penyiaran, tugas dan wewenang KPI yang selama ini mengawasi isi/konten televisi yang menggunakan frekuensi publik dengan bersandar pada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Penyiaran (P3 SPS) tidak tepat jika diterapkan untuk mengawasi platform digital dan streaming seperti Netflix.

“OTT itu, kan, on demand ya. Karena on demand, bagaimana caranya memperlakukan orang yang menonton secara mobile dengan yang serempak? Dalam negara demokratis, dalam konteks yang sifatnya konten on demand atau lebih privat, tanggung jawabnya memang lebih besar dari orang yang memilih tontonannya. Kalau misalnya anak berlangganan, berarti tugasnya orangtua lebih besar ketimbang negara. Logika ini yang seolah mau dilewati begitu saja,” lanjut Heychael.

Hal senada juga disorot podcaster horor Do You See What I See, Mizter Popo atau Rizky Ardi Nugroho, terkait dengan beberapa kata dalam Pasal 56 ayat (2) yang bisa multitafsir, seperti mistik dan kekerasan. Dengan ketidakjelasan definisi dan cakupan yang akan mengatur konten di platform digital, Mizter Popo memandang itu bisa menjadi ‘jebakan betmen’ seperti halnya UU ITE. Siapa pun bisa kena.

“Tentu saja ini menjadi kemunduran kebebasan berkarya dan berbicara. Di lain pihak memang ada keinginan yang niatnya untuk melindungi usia tertentu atau audiens yang belum paham. Tapi kalau misal ngomongin konten di platform OTT, lalu disensor, di media sosial disensor, ini sulit. Siapa yang akan menilai ini? Itu yang jadi permasalahan. Siapa yang tentukan ini baik dan buruk. Sebagai kreator, panduannya apa, apakah comply ke OTT atau streaming platform-nya, tapi jika itu tidak sesuai dengan pemerintah, juga akan sulit,” tuturnya.

Ia juga melihat RUU Penyiaran yang saat ini ada justru lebih akan merugikan banyak pihak, termasuk para kreator konten. Jika kelak RUU ini melangkah lebih maju, ia yakin banyak kreator konten yang protes sebab hal itu berkaitan dengan hajat pendapatan. Ekonomi kreatif juga akan sangat terdampak d....

Belum selesai membaca berita ini ? Selesaikan dengan berlangganan disini Berlangganan

Advertisement

Advertisement