TIFA

Empati Duka Mendalam

Min, 26 Jun 2022

MENINGGALNYA Emmeril Kahn Mumtadz, putra pasangan Ridwan Kamil-Atalia Praratya, di Sungai Aare, Swiss, yang lalu menimbulkan rasa empati yang luar biasa dari warga. Ribuan orang larut dalam kesedihan atas kepergiannya.
Tentu, empati itu bukan semata Eril adalah putra gubernur, tetapi juga karena ia masih muda dan dikenal pintar, baik, dan murah hati. Kematiannya akibat hanyut di sungai dan baru ditemukan 14 hari kemudian menambah dalamnya empati.
Tidak bermaksud menyamakan, pada sisi hadirnya empati yang luar biasa warga atas peritiwa meninggalnya seseorang, juga ada dalam dunia wayang. Itu terjadi ketika Abimanyu gugur mengenaskan di Kurusetra dalam perang Bharatayuda.

Wahyu Hidayat
Kepiluan warga atas meninggalnya Abimanyu juga karena ia digadang-gadang menggantikan uaknya, Puntadewa, menjadi raja Negara Amarta berikutnya. Kematiannya di usia muda semakin menambah menghunjamnya kesedihan.
Abimanyu adalah putra sulung pasangan Arjuna-Sembadra. Ia lahir dari buah bersatunya dua benih orang bukan sembarangan. Arjuna adalah kesatria Pandawa, putra mendiang Raja Astina Prabu Pandu Dewanata dan cucu Begawan Abiyasa.
Sementara itu, Sembadra adalah putri Raja Negara Mandura Prabu Basudewa dengan permaisuri Dewi Badrahini. Kakaknya, Raja Mandura Prabu Baladewa dan Raja Dwarawati Prabu Sri Bathara Kresna.
Ketika masih dalam kandungan, Abimanyu mendapat anugerah berupa Wahyu Hidayat yang membuatnya bisa mendengar orang berbicara lewat pendengaran ibunya. Itu pertanda bahwa jabang bayi itu kelak akan menjadi kesatria hebat.
Menurut kisahnya, Abimanyu yang masih dalam rahim, menguping pembicaraan ayah dan ibunya. Ketika itu, Arjuna bercerita strategi perang cakrabyuha. Setiap menjelang tidur, kedua orang tuanya memang biasa glenikan (mengobrol santai).
Sayang, Abimanyu hanya mengetahui sampai cara menghadapi strategi perang yang juga disebut kepung gelang tersebut. Ia tidak mengerti bagaimana keluar dari jebakan perang itu karena saat ayahnya menguraikannya, Sembadra ketiduran.
Ketikdaktahuan itulah yang menjadi bencana ketika Abimanyu di kemudian hari terjun ke medan perang. Musuh yang menggunakan taktik cakrabyuha berhasil mengurungnya yang menyebabkan kematiannya.
Pada waktu Abimanyu lahir, Pandawa sedang menjalani hidup lelanabrata (prihatin) selama 12 tahun di Hutan Kamyaka akibat kalah bermain dadu melawan Kurawa. Bila rampung, mereka masih harus menjalani hidup menyamar satu tahun.
Konsekuensi lain dari kekalahan itu, kedaulatan Amarta di tangan Duryudana (Kurawa). Maka, Sembadra beserta putranya terpaksa mengungsi ke Dwarawati, rumah kakaknya (Kresna). Oleh karena itu, hingga remaja Abimanyu tidak mendapat kasih sayang sang ayah.
Selain tampan, seperti halnya Arjuna, Abimanyu juga berperilaku sopan dan bertutur kata halus. Di sisi lain, ia dikenal berhati keras, pemberani, dan memiliki tanggung jawab yang besar.
Walaupun tidak diasuh langsung sang ayah, Abimanyu mewarisi kepintarannya dalam hal memanah dan menggunakan senjata lain, terutama keris. Sedangkan dalam spriritualitas, mendapat asupan dari eyang buyutnya, Begawan Abiyasa.

Wahyu Cakraningrat
Pada usia dewasa, Abimanyu tinggal di Plangkawati. Tempat tinggalnya itu didapat setelah menyirnakan Jayamurcita, Raja Plangkawati. Sebelumnya, Jayamurcita menyerang Dwarawati membalaskan dendam atas kematian kakaknya, Jaya Seti, yang dibunuh Arjuna karena ingin menikahi Sembadra.
Sebagaimana kesatria terdepan, Abimanyu gemar prihatin menjelajahi hutan, naik gunung, dan menuruni jurang. Mencari ilmu dengan berguru kepada para resi. Selain itu, tentu saja sowan buyutnya, Abiyasa, di Pertapaan Ratawu, Sapta Arga.
Citra Abimanyu sebagai generasi pemimpin penerus Amarta tampak paling moncer. Pamornya mengalahkan putra Pandawa lainnya, misalnya Antareja atau Gatotkaca. Apalagi dengan sepupu lainnya, Pancawala, putra tunggal Puntadewa.
Kelima kesatria Pandawa--Puntadewa, Werkudara, Arjuna, Nakuka dan Sadewa, sepakat menggadang-gadang Abimanyu menjadi putra mahkota. Warga Amarta pun begitu berharap putra Arjuna itu yang menjadi raja selanjutnya. Keinginan itu berdasar pada segala keunggulan dan kemampuan yang dimiliki kesatria tersebut.
Sadar dengan begitu besarnya dukungan para pepunden dan rakyat, Abimanyu terus menyempurnakan diri dengan berbagai syarat lahir dan batin. Oleh karena itu, Abimanyu berkeinginan mengenggam wahyu kepemimpinan atau Cakraningrat.
Kabar akan turunnya wahyu itu didapat dari pamomongnya, Semar Badranaya. Menurut Panakawan yang sejatinya Bethara Ismaya mangejawantah itu, siapa yang berhasil mendapatkan wahyu tersebut bakal menjadi raja besar.
Tidak sedikit para titah yang ingin menguasai wahyu raja. Maka, Abimanyu mesti bersaing dengan kompetitor lainnya, termasuk putra mahkota Dwarawati, Samba Wisnubrata serta Lesmana Mandrakumara dari Astina.
Singkat cerita, pada akhirnya Abimanyu mendapatkan wahyu Cakraningrat atau juga disebut Wahyu Kanarendran. Keberhasilan itu semakin mendekatkannya dengan harapan semua pihak untuk menjadi raja.

Jadi bulan-bulanan
Tidak lama kemudian, Pandawa berperang melawan Kurawa karena ingkar janji untuk mengembaikan Amarta dan Astina yang menjadi haknya. Di sinilah Abimanyu berketetapan hati untuk ikut berperang membela pepundennya.
Abimanyu terjun ke medan laga pada hari ke-12 Bharatayuda. Dengan seizin botoh Pandawa, Kresna, ia maju perang ketika musuh menggelar strategi cakarabyuha. Abimanyu terperangkap dalam taktik lawan dan tidak mampu melepaskan diri.
Putra Arjuna itu menjadi bulan-bulanan Kurawa hingga akhirnya gugur sebagai kusuma bangsa. Kepergian kesatria yang didama-dama (digadang-gadang) menjadi raja itu mengundang d....

Belum selesai membaca berita ini ? Selesaikan dengan berlangganan disini Berlangganan

Advertisement

Advertisement