BADAN Pusat Statistik (BPS) didorong memperbarui metode pengukuran tingkat kemiskinan. Pasalnya, metode pengukuran saat ini masih menggunakan pendekatan tahun 1976 yang hanya bertumpu pada konsumsi makanan sebagai alat ukur kemiskinan.
Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (Celios) Media Wahyu Askar menyampaikan, metodologi pengukuran kemiskinan dari BPS itu sudah berusia hampir 50 tahun dan tidak mengalami perubahan signifikan dalam lima dekade terakhir. Padahal di saat yang sama, banyak negara telah secara aktif memperbarui pendekatan mereka sehingga program pemberantasan kemiskinan semakin tepat sasaran.
“Pendekatan ini telah digunakan sejak tahun 1984 dengan basis data tahun 1976. Pertanyaannya, apakah metode ini masih relevan digunakan di masa sekarang?” tanya Media dalam webinar Sebenarnya Ada Berapa Juta Orang Miskin dan Menganggur di Indonesia?, Rabu (28/5).
Hingga saat ini, sambungnya, BPS masih mengukur garis kemiskinan berdasarkan kebutuhan makanan dan non-makanan dengan berpatokan pada situasi kehidupan di tahun 1976. Sederhananya, survei dilakukan dengan mencatat pengeluaran rumah tangga untuk kebutuhan seperti pasta gigi, sabun, transportasi, serta untuk makanan seperti sayur dan telur.
Media menyebut pada tahun 1970-an, sekitar 70% konsumsi rumah tangga difokuskan pada makanan. Saat itu belum ada ponsel, internet, layanan atau dompet digital, biaya hobi, sewa fasilitas olahraga, dan kebutuhan lainnya sehingga belum menjadi pengeluaran rutin seperti sekarang. Kini, porsi konsumsi non-makanan telah meningkat signifikan dan bahkan menjadi kebutuhan esensial.
Alhasil, perbedaan mencolok terjadi antara data BPS dan Bank Dunia yang kemudian memperkeruh persepsi publik.
BPS mencatat hanya 8,5% penduduk Indonesia berstatus miskin (24 juta jiwa), sementara Bank Dunia menyebut 60,3% (172 juta jiwa) masuk kategori miskin jika mengacu pada standar pendapatan minimal US$6,85 per kapita per hari.
Meski metodologi keduanya berbeda, selisih itu menimbulkan kebingungan dan memperlemah kepercayaan publik terhadap data.
Awal Mei lalu, Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti mengakui adanya perbedaan angka garis kemiskinan Indonesia versi Bank Dunia dan versi resmi pemerintah Indonesia. Menurutnya, hal tersebut bukan bentuk kontradiksi, melainkan karena perbedaan metodologi dan tujuan penghitungan yang digunakan tiap pihak.
Amalia menjelaskan, BPS menghitung garis kemiskinan menggunakan pendekatan cost of basic needs (CBN) yang mempertimbangkan pengeluaran minimum penduduk untuk memenuhi kebutuha....