DI tengah karut-marut tren di era post truth, yang biasanya dalam pemberian pertimbangan atas suatu pernyataan atau keputusan lebih banyak didasarkan pada opini atau persepsi publik, saya jadi teringat dengan pendapat Ratib al-Nabulsi tentang ilmu dan bagaimana kita bersikap dengan ilmu itu.
Seorang cendekiawan dan pendakwah dari Damaskus itu menyifati ilmu dengan beberapa kategori, yaitu bermanfaat (nafi'), mengasyikkan atau dapat membuat nyaman (mumti'), dan menyelamatkan (mus'id). Sambil membuat kategori tersebut, sang alim dari negeri yang dulu bernama Syam itu buru-buru membuat pernyataan: tidak semua ilmu yang bermanfaat dan mengasyikkan itu menyelamatkan. Namun, ketika ilmu itu mus'id, pasti ilmu tersebut nafi' dan mumti'.
Bagaimana kategori-kategori ilmu di atas bisa dijelaskan dengan gamblang? Secara khusus: apa, bagaimana, dan kapan ilmu itu menyelamatkan? Tulisan ini membahasnya dari sudut pandang makna bahasa dikaitkan d....