OPINI

Inovasi Pengelolaan Risiko Bencana Hidrometeorologi

Jum, 26 Apr 2024

“ADAPTASI pada perubahan iklim” merupakan kalimat yang sering kita baca, dan kita dengar dimana-mana. Perubahan iklim kemudian dikaitkan dengan cuaca ekstrem yang berujung pada meningkatnya bencana hidrometeorologi, atau bencana yang terjadi berhubungan dengan hujan.

Banyak bencana di Indonesia yang digolongkan dalam bencana hidrometeorologi, yaitu banjir dan kekeringan, yang kemudian dapat meluas menjadi longsor ataupun kebakaran hutan dan lahan.

BMKG dan BNPB pun disibukkan untuk mengurus masalah banjir, longsor dan kekeringan, serta kebakaran hutan dan lahan sepanjang tahun, karena akhir-akhir ini pada awal musim penghujan pun sudah ada daerah yang mengalami kebanjiran, begitu juga beberapa daerah di Indonesia telah mengalami kekeringan walaupun musim kemarau baru saja dimulai.

Peningkatan frekuensi kejadian inilah, yang kemudian mendorong bencana hidrometeorologi menjadi salah satu tema pembahasan dalam World Water Forum di Bali bulan Mei 2024.

Pemerintah telah melakukan tindakan yang benar dengan melibatkan masyarakat untuk menghadapi bencana. Tecermin dari adanya pasal pengaturan partisipasi masyarakat dalam menghadapi bencana di UU No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana. Dimana pasal 26 dan 27 menyebutkan, bahwa masyarakat mempunyai hak untuk berpartisipasi dalam keputusan penanggulangan bencana dan wajib melakukan kegiatan penanggulangan bencana. Kedua pasal ini menjadi dasar dibentuknya Desa Tangguh Bencana, dimana masyarakat dilibatkan baik di waktu sebelum terjadinya bencana, saat bencana, dan sesudah bencana.

Namun demikian, pelibatan masyarakat di Desa Tangguh Bencana belumlah cukup optimal. Dari beberapa yang telah dibentuk, titik berat lebih pada penanganan apabila terjadi bencana, bukan pada pengurangan risiko bencana. Sebagai contoh, pada daerah yang sering mengalami banjir, penanganan pra-bencana adalah persiapan menghadapi banjir, dimana lokasi pengungsian, bagaimana logistik dan sebagainya.

Padahal sesungguhnya masyarakat, terutama di perdesaan, dapat lebih diberdayakan untuk mengamati fenomena alam yang terjadi, karena sejak kecil telah mengerti dan paham tanda-tanda alam akan terjadinya bencana di wilayahnya, sehingga mempunyai “feeling” bagaimana atau kapan bencana itu akan terjadi.

“Kepekaan” dan kewaspadaan masyarakat ini, dapat dimanfaatkan oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan bahkan BMKG. Misalnya, BMKG dapat melibatkan masyarakat dalam pengamatan hujan, khususnya di daerah-daerah hulu daerah aliran Sungai (DAS) yang dalam sistem hidrologis menjadi penyumbang banjir, dan selama ini belum terpantau oleh BMKG, dengan memberikan pelatihan kepada mereka.

Saat ini, BMKG baru dapat mengumpulkan data hujan pada area yang secara infrastruktur bisa dijangkau, seperti di tengah dan hilir suatu DAS. Pada daerah yang terpencil, seperti desa-desa yang berbatasan dengan hutan, data hujan masih belum terpantau. Keadaan ini dimaklumi karena besarnya biaya untuk memperoleh data hujan tersebut, mulai dari peralatan yang mahal serta anggaran untuk pengamat yang terbatas.

Peluang pelibatan masyarakat dalam pengumpulan data hujan ini perlu dipertimbangkan dengan baik. Hal lain yang harus dipersiapkan adalah, mekanisme penyampaian/lalu lintas data hujan tersebut dari pengamat sampai ke BMKG, bagaimana menjaga agar data yang dikumpulkan benar dan akurat. Kuncinya ada pada penggunaan alat yang mudah dioperasikan, dan memberi kemudahan kepada pengamat untuk memperbaikinya apabila terjadi kerusakan.

Penggunaan penakar hujan manual dan sederhana sebaiknya menjadi pilihan, dimana pemeliharaannya dapat dilakukan dengan sumberdaya lokal dan bahan-bahannya tersedia, bahkan di desa yang terpencil yang jauh dari pusat kota. Apabila semua hal itu dapat diatasi, maka data hujan yang dikumpulkan oleh BMKG dapat lebih lengkap. Dan yang terutama sekali, masyarakat secara tidak langsung dapat berpartisipasi dalam pencegahan bencana.

Pengalaman yang penulis peroleh dari pemasangan penakar hujan yang sederhana, dan menempatkannya di Sekolah Dasar pada desa-desa di hulu DAS memberikan hasil yang cukup memuaskan. Pengukuran dan pencatatan data dilakukan oleh murid-murid SD dan pengumpulan data dilakukan oleh guru-gurunya.

Dari kegiatan tersebut, paling tidak ada tiga keuntungan yang dapat diperoleh dengan memberdayakan masyarakat setempat. Pertama, data hujan di daerah terpencil, selama masih terdapat SD, akan dapat diperoleh, sehingga BMKG bisa memperoleh data hujan yang lebih merata.

Kedua, menanamkan pengetahuan mengenai hubungan hujan dan bencana pada masyarakat, terutama anak-anak sejak dini, bagaimana hujan yang turun saat ini di suatu tempat bisa menjadi banjir di tempat lain.

Keuntungan yang ketiga adalah, penghematan biaya pengumpulan data itu, karena memanfaatkan murid dan guru Sekolah Dasar. Hal ini akan menjadi lebih mudah apabila BMKG dapat bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, misalnya memasukkan pengetahuan tentang hujan dan bencana dalam kurikulum pendidikan, dan pengetahuan mengenai hujan dan bencana menjadi salah satu penerapan dari kurikulum tersebut.

Apabila hal ini dapat dilaksanakan, maka kita dapat mempunyai data hujan dari hasil pengukuran yang lengkap, sehingga dapat dimanfaatkan lebih luas lagi. Selamat membahas bersama Air untuk Kesejahteraan di 10th World Water Forum 2024. Sekiranya forum ini dapat menghasilkan lebih banyak pertukaran pikiran, pengalaman, dan i....

Belum selesai membaca berita ini ? Selesaikan dengan berlangganan disini Berlangganan

Advertisement

Advertisement