NUSANTARA

Kain Gringsing Tenganan Warisan Budaya Kuno Terus Terjaga

Rab, 23 Mar 2022

KAIN tenun ikat gringsing khas Tenganan merupakan salah satu warisan budaya kuno Bali yang masih bertahan hingga saat ini.

Bahkan, dalam pemakaiannya semakin berkembang ke daerah lain hingga ke luar negeri. Selain kekhasannya menggunakan teknik ikat ganda, kain itu juga memiliki filosofi yang sarat makna dengan simbol-simbol yang bernilai sakral.

Salah satu motif produk kain tenun ikat ganda gringsing yang cukup diminati hingga ke masyarakat luar Tenganan ialah lubeng. Lubeng ini menggambarkan pola tata ruang wilayah Desa Adat Tenganan Pegringsingan atau dikenal sebagai bentengnya atau disebut juga jaga satru atau menjaga serangan musuh. Motif lubeng disimbolkan dengan kalajengking atau dalam bahasa Bali disebut teledu nginyah di empat pintu masuk desa.

“Maknanya teledu nginyah atau kalajeng king menjaga empat pintu masuk de sa yang tidak akan menyengat atau menyerang apabila tidak diganggu,” ujar Klian (Ketua) Desa Adat Tenganan Pegringsingan I Putu Yudiana kepada Media Indonesia, Jumat (4/3).

Lubeng juga disepakati sebagai lambang Desa Tenganan Pegringsingan. Bagi masyarakat Tenganan Pegringsingan, kain tenun gringsing mengandung nilai magis yang diyakini bisa menolak bala atau penyakit. Istilah gringsing sering dikaitkan dengan dua suku kata pembentuknya, yakni gring yang berarti penyakit dan sing berarti tidak. Karena itu, disimpulkan bahwa gringsing berarti tidak sakit.

Adanya kekuatan penolak bala di dalam kain gringsing tidak dibantah Putu Suarjana, pemilik usaha kain tenun gringsing Geguron.

Bahwa unsur yang diyakini sebagai penolak bala itu karena ada unsur tridatu, yaitu tiga macam warna: merah, hitam, dan putih di dalam kain tersebut yang merupakan manifestasi kekuatan Tuhan.

Dalam keyakinan umat Hindu di Bali, tridatu terdiri atas warna merah sebagai simbol Dewa Brahma (manifestasi Tuhan sebagai pencipta), Wisnu (warna hitam) dalam manifestasi pemelihara, dan Siwa (putih) sebagai pemrelina/pelebur.

Kain tenun gringsing sebagai busana khas masyarakat adat Tenganan dimaknai sebagai identitas diri pakaian kebesaran yang sangat mereka hormati.

Kepemilikan pakaian itu wajib bagi masya rakat adat Tenganan, tidak tergantung kaya atau miskin sehingga tidak ada kesenjangan. Hanya, dalam penggunaannya, dibedakan dari statusnya di adat. Misalnya, bujang atau gadis akan berbeda jenis pakaian yang digunakannya ketimbang yang sudah menikah. Ibu yang sedang menyusui juga berbeda jenisnya, sedangkan ibu hamil tak bisa ikut dalam upacara adat/agama.

“Penggunaan kain sudah ada aturannya, pakemnya,” ujar Suarjana yang juga anggota DPRD Kabupaten Karangasem itu.

Dari segi motif, kain tenun gringsing memiliki 27 macam motif. Bahkan, belakangan motif mesila (duduk) yang kini dimunculkan lagi setelah dikembalikan dari museum di Swiss. Motif itu kini bisa diproduksi kembali.

“Jadi, sekarang ada 28 motif setelah muncul lagi motif mesila yang lama disimpan di Swiss,” ujar Putu Yudiana, pemilik Umah Gringsing yang juga mantan Kepala Desa Tenganan itu.

Dari 28 motif, motif wayang kebo memiliki hubungan melekat dan bahkan menjadi roh Desa Tenganan Pengringsingan. Motif wayang kebo mengandung konsep kehidupan masyarakat Tenganan Pengringsingan.

Berdasarkan warna, motif dan fungsinya tenun gringsing wayang kebo mengandung makna keseimbangan. Pesannya, bagaimana manusia harus menjalin hubungan baik dengan alam, manusia dengan manusia yang lainnya, dan manusia dengan Tuhan.

Hubungan itu yang diyakini masyarakat Tenganan Pegringsingan dengan sebutan trihita karana, yang dalam ajaran Hindu merupakan konsep kehidupan.

Sementara itu, berdasarkan fungsinya, menurut Nyoman Sadra, tokoh masyarakat Tenganan, kain tenun gringsing wayang kebo digunakan pada saat upacara pada Sasi Kasa dan Sasi Kalima menurut kalender masyarakat Tenganan Pegringsingan.

Pada Sasi Kasa, digunakan oleh para penari tari Rejang yang berarti simbol kebahagiaan dan penghormatan kepada Dewa Indra.

Pada Sasi Kalima, dipakai pada saat ada pertunjukan perang pandan (mekarekare), suatu wujud pengorbanan Dewa Indra dalam mengalahkan Raja Mayadenawa.

Belum selesai membaca berita ini ? Selesaikan dengan berlangganan disini Berlangganan

Advertisement

Advertisement