NUSANTARA

Lurah Kincia Saksi Bisu Peristiwa Perjuangan Melawan Belanda

Rab, 02 Feb 2022

PERTENGAHAN Januari lalu, suasana khid mat begitu terasa di kampung Lurah Kincia, Nagari Situjuah Batua, Kecamatan Situjuah Limo Nagari, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatra Barat. Masyarakat setempat hingga pejabat penting Sumatra Barat dan kalangan militer membaur, mengenang mereka yang gugur dalam peristiwa membela Republik Indonesia pada 1949 silam. Kegiatan ini selalu dihelat setiap 15 Januari setiap tahunnya.

Kampung di kaki Gunung Sago itu adalah saksi bisu Peristiwa Situjuah Batua (Batur). Situjuah Batua persisnya di Lurah Kincia, tempat pertemuan rapat para pemimpin Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dan pasukan Barisan Pengawal Nagari dan Kota (BPNK) dalam merespons agresi militer II yang dilancarkan Belanda.

Rapat tersebut instruksi dari Gubernur Militer Sumatra Tengah Sutan Mohammad Rasjid, dengan memberi mandat kepada Ketua Markas Pertahanan Rakyat Daerah (MPRD) Chatib Sulaiman untuk memimpinnya. Alhasil, rapat digelar malam hari pada 14 Januari 1949.

Adapun keputusan rapat di sebuah rumah di Lurah Kincia, sebagaimana dikutip dari Sejarah Perjuangan Kemerdekaan di Minangkabau/Riau 1945-1950 (II), supaya diadakan koordinasi perjuangan yang lebih baik. Lalu melakukan pencegatanpencegatan yang lebih aktif terhadap patroli- patroli Belanda. Merusak jalan-jalan yang dilalui pasukan Belanda, termasuk menumbangkan kayu, dan menyiapkan pasukan yang kuat untuk melancarkan serangan.

Rapat berlangsung hingga larut malam. Setelah selesai, mereka berangkulan, berpelukan. Sebagian ada yang pergi dari kampung itu, dan sebagian menginap, dengan tidur di beberapa surau yang di sediakan.

Nahasnya, mereka yang masih ada di kampung itu bersimbah darah pada saat subuh. Mereka ditembaki tentara Belanda. Sebanyak 69 orang menemui ajal dalam kejadian itu, di antaranya Chatib Sulaiman (Ketua MPRD Sumatra Barat), Arisun St Alamsyah (Bupati Militer Kabupaten Limapuluh Kota), dan sejumlah pe mimpin pejuang dan anggota BPNK lainnya.

Perjuangan mereka dalam mempertahankan Republik telah diabadikan dalam bentuk penamaan Masjid Syuhada di kampung itu, juga tugu dengan goresan nama-nama yang gugur.

Sebanyak 9 orang dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Situjuah Batua dan selebihnya di banyak tempat. Sebagian dibawa keluarga ke pandam pekuburan kaum atau keluarga.

Cerita Peristiwa Situjuah Batua terhampar di lahan seluas 3 hektare. Di sana, selain makam, juga berdiri Museum Lurah Kincia, gerbang atau gapura, dan sungkup. Sayang kondisinya tidak terawat dengan baik dan aksesibilitasnya kurang baik.

Pada makam itu berbaring 9 pimpinan dan pejuang dalam rapat itu, di antaranya Chatib Sulaiman.

“Museum Lurah Kincia sudah reyot. Museum itu rumah biasa dengan isinya dokumen, foto-foto pejuang, sketsa rapat, gambaran bagaimana penyerangan,” kata Wali Nagari Situjuah Batua Don Vesky Dt Tan Marajo, Rabu (26/1).

Sekitar 2016, kata Don, dengan dibantu oleh Museum Adityawarman, Museum Lurah Kincia akan diusulkan kepada pemerintah pusat untuk direnovasi. Namun, persoalan internal di pemerintahan nagari setempat membuatnya gagal diajukan dan batal mendapat polesan dari pemerintah pusat.

Selain museum dan makam, di kawasan yang disebut situs Peristiwa Situjuah Batua itu juga terdapat sungkup (situs tempat rapat pejuang yang gugur dalam peristiwa itu), rumah tunggu, dan surau.

Don Vesky mengatakan akses jalan menuju situs Peristiwa Situjuah juga dalam kondisi rusak. Ia pun tidak bisa berbuat apa-apa, misalnya menggunakan anggaran dana desa untuk perbaikan sebab tanah kawasan situs itu telah dihibahkan oleh pemilik lahan kepada pemerintah daerah. Artinya, sertifi katnya saat ini atas nama pemerintah daerah.

“Anggaran dana desa? Tidak bisa sebab pakai sertifi kat, lokasi dihibahkan ke pemda. Itu menjadi hak milik pemda, cuma secara administrasi masuk Nagari Situjuah Batua,” bilangnya.

Peristiwa Situjuah Batua adalah bab terpenting dalam buku PDRI yang dimulai pada 19 Desember 1948. PDRI adalah napas panjang Republik di masa agresi militer II Belanda.

Kekosongan pemerintahan Republik Indonesia di bawah kepemimpinan Soekarno- Hatta karena ditawan Belanda, digantikan oleh eksistensi PDRI yang di ketuai Mr Sjafruddin Prawiranegara.

PDRI kemudian memastikan Republik In donesia masih ada dan menyampaikan ke dunia luar melalui radio.

Selama 207 hari, Syafrudin Prawiranegara dan kawan-kawan menjalankan PDRI hingga berakhirnya agresi militer Belanda, sekaligus menyerahkan kembali pemerintahan kepada Soekarno-Hatta. Belanda akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949 dalam Konferensi Meja Bundar (KMB).

Pentingnya PDRI dalam kronik sejarah Indonesia telah diakui dengan ditetapkannya hari lahir PDRI pada 19 Desember 1948 sebagai Hari Bela Negara, dan itu menjadi kalender merah nasional sejak 2006 serta diperingati setiap tahunnya di basis PDRI seperti Koto Tinggi, K....

Belum selesai membaca berita ini ? Selesaikan dengan berlangganan disini Berlangganan

Advertisement

Advertisement