HUMANIORA

Melawan Penyakit Endemik di Tengah Pandemi

Kam, 15 Apr 2021

BEBAN kesehatan masyarakat semakin berat selama masih ada pandemi covid-19. Indonesia sebagai negara beriklim tropis juga dihadapkan dengan beberapa penyakit endemik, seperti DBD, malaria, kusta, hepatitis, hingga tuberkulosis.

Penyakit tersebut bandel dan selalu muncul dengan penambahan kasus setiap tahunnya. Tak salah jika para pakar kesehatan masyarakat menyebutkan pemberantasan penyakit endemik harus meliputi penanggulangan faktor penyebab penyakit yang paling dasar. Oleh karena itu, butuh waktu yang cukup lama dan cakupan yang luas.

Berbagai langkah pencegahan meluasnya penyakit endemik berupa penyuluhan dan pemberian obat pencegah cukup membantu untuk sementara. Namun, yang lebih penting pemberantasan penyakit ini lebih ditekankan pada upaya meningkatkan promosi gaya hidup sehat dan pemberian edukasi terkait pencegahan penyakit ini.

Berbagai program penyuluhan puskesmas dan pos pelayanan terpadu juga digencarkan, untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap berbagai penyebab penyakit endemik. Penanganan harus serius karena dampak dari penyakit ini sangatlah fatal.

Tentu semakin berat dikerjakan di tengah penyebaran covid-19 yang sudah merambah hingga ke daerah endemik. Apalagi fokus pemerintah teralihkan dengan memprioritaskan penanganan virus korona.

Beberapa penyakit endemik yang memiliki daya tular tinggi hingga ekstra diwaspadai masyarakat yakni demam berdarah dengue (DBD) dan malaria yang ditularkan lewat gigitan nyamuk. Tahun ini kasusnya semakin tinggi dirasakan di tengah pandemi covid-19.

Setidaknya ada 10 provinsi dengan kasus tertinggi DBD pada 2020, mulai dari Jawa Barat dengan 22.825 kasus, Bali (11.974), Jawa Timur (8.567), Lampung (6.372), NTT (5.968), Jawa Tengah (5.683), DKI Jakarta (4.745), NTB (4.720), Yogyakarta (3.618), dan Sumatra Utara (3.125).

Menurut Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik (P2PTVZ) Kementerian Kesehatan Didik Budijanto, ada perubahan kecenderungan dari penyakit ini. Biasanya data tertinggi diperoleh dari daerah yang padat penduduknya, namun saat ini kondisi kepadatan penduduk tidak terlalu berpengaruh. Bahkan Nusa Tenggara Timur yang tidak berpenduduk padat, kasusnya cukup tinggi hingga masuk 5 besar.

“Oleh karena itu, DBD sungguh suatu penyakit yang memang betul-betul perlu kita cermati dan perhatikan. Sekarang tidak lagi menjadi siklus tahunan atau 5 tahunan, tetapi sewaktuwaktu bisa terjadi,” kata Didik dalam suatu diskusi virtual.

Cakupan kewilayahan yang terjangkit juga cukup luas mencapai 477 kabupaten/kota di 34 Provinsi. “Kasus kematian akibat penyakit DBD memang menurun dibandingkan tahun lalu, tetapi bukan berarti kondisi pencegahan dan pengendalian dikendurkan. Apalagi di dalam kondisi pandemi covid-19 perlu kewaspadaan terjadinya koinfeksi,” tuturnya.

Untuk itu, salah satu strategi dalam pengendalian DBD, terutama yang kasus tinggi, ujung tombaknya ialah pengendalian vektor. Penyebabnya yakni nyamuk Aedes aegypti betina pembawa virus dengue harus dikendalikan dan diberantas.

Nyamuk yang berasal dari Afrika ini selain membawa virus dengue, juga membawa virus zika, chikungunya, dan demam kuning. Hingga saat ini strategi 3 M (menutup tempat penyimpanan air, menguras bak mandi, dan mengubur barang bekas) dinilai sangat ampuh untuk menekan perkembangbiakan hewan kecil yang suka berada di air bersih ini.

Vaksin DBD memang ada, namun efektivitasnya untuk mencegah dan menciptakan herd immunity belum diketahui lebih jauh.

Upaya pencegahan dan skema pengendaliannya yang tengah dilakukan selama pandemi ini dengan mengeluarkan surat edaran kepada Kementerian Agama dan Kemendikbud untuk kegiatan PSN atau 3M plus yang ada di fasilitas pendidikan dan rumah ibadah. “Kegiatan ini dilakukan secara berkala minimal 1 kali seminggu dan berkelanjutan,” sebutnya.

“Meskipun ada kebijakan sekolah di rumah, PSN dan 3M plus dilakukan secara berkala minimal 1 minggu sekali dan berkelanjutan.”

Kemudian surat edaran dari Ditjen P2P Kemenkes ditujukan kepada Kepala Dinas Kesehatan provinsi dan kabupaten/ kota. Dengan arahan pelaksanaan pencegahan dan pengendalian DBD dalam situasi pandemi covid-19, mulai dari diagnosis, penyelidikan epidemiologi, dan fogging.

Kemudian surat Dirjen P2P kepada dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota terkait dengan protokol pencegahan dan pengendalian infeksi dengue dalam tatanan adaptasi kebiasaan baru di masa covid-19.

“Di antaranya mengedepankan peran serta anggota keluarga di rumah, melaksanakan kegiatan pencegahan dan pengendalian infeksi dengue dengan langkah-langkah strategis serta inovatif dalam AKB,” paparnya.

Selanjutnya kegiatan pemberdayaan masyarakat dalam pengendalian DBD juga menjadi ujung tombak untuk bisa mengendalikan vektor.

“Satu upaya adalah dengan satu gerakan satu rumah, 1 jumantik melalui PSN 3M plus. Jadi maknanya sangat luas, tidak hanya rumah permukiman, tetapi juga bangunan, sekolah, perkantoran, ibadah, pelabuhan dan lainnya. Ini yang harus digalakkan terus-menerus,” tegasnya

Penyakit DBD dan malaria menjadi PR tersendiri bagi kita karena harus melibatkan banyak pihak untuk menghadapinya. Pencegahan atau pengendalian (malaria dan vektor) ini sangat penting sehingga tidak saja harus dilakukan Kemenkes, tapi juga dari lintas sektoral.

....

Belum selesai membaca berita ini ? Selesaikan dengan berlangganan disini Berlangganan

Advertisement

Advertisement