PEMERINTAH memiliki komitmen kuat dalam pengelolaan sampah di Tanah Air. Targetnya, Indonesia sudah bersih dan bebas sampah pada 2025. Target itu telah diamanatkan dalam Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah (Jakstranas).
Jakstranas merupakan arah kebijakan dan strategi dalam pengurangan dan penanganan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga tingkat nasional yang terpadu dan berkelanjutan.
Langkah yang diambil ialah mengurangi 30% sampah dari sumbernya, serta memproses dan mengelola 70% sampah agar tidak terkumpul dan menumpuk di tempat pembuangan.
Dengan itu, target pengelolaan sampah sebesar 100% diharapkan bisa tercapai pada 2025 mendatang.
Pemerintah Indonesia juga berkomitmen dalam menindaklanjuti Paris Agreement dengan menetapkan kontribusi target pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) yang disebut dengan Nationally Determined Contribution (NDC).
Dokumen NDC menetapkan target pengurangan emisi GRK di Indonesia, yakni sebesar 29% tanpa syarat (dengan usaha sendiri) dan 41% bersyarat (dengan dukungan internasional yang memadai) pada 2030.
Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Beracun Berbahaya (Dirjen PSLB3) KLHK Rosa Vivien Ratnawati menjelaskan, sampah merupakan salah satu sektor yang memberikan kontribusi dalam peningkatan emisi GRK. Jumlah signifikan gas metan yang dihasilkan dari TPA sampah mengambil peran besar dalam menciptakan efek gas rumah kaca.
“Selain itu, masih adanya aktivitas pengelolaan sampah yang salah seperti pembakaran terbuka dan pembuangan sampah secara sembarangan/ ilegal, serta kurang maksimalnya pengolahan sampah seperti tidak adanya pemanfaatan gas metan di TPA dan daur ulang sampah kertas yang masih minim,” ujarnya dalam puncak peringatan Hari Peduli Sampah Nasional 2022, Senin (21/2).
Ada sejumlah skenario pengelolaan sampah dalam pencapaian NDC sampai 2030. Pertama, pengelolaan TPA sebagai aksi mitigasi emisi GRK. Potensi emisi GRK yang dihasilkan dari landfi ll di 514 kab/kota di Indonesia pada 2030 yaitu sebesar 58,22 juta ton CO2e. Untuk itu, perlu penguatan kebijakan terkait penerapan pengelolaan TPA secara sanitary landfi ll dengan memaksimalkan pemanfaatan landfill gas (LFG) di kabupaten/ kota di Indonesia.
Kedua, pengelolaan sampah menjadi energi listrik (PSEL), seperti diatur dalam Perpres 35/2018. Hal ini misalnya dilakukan di Surabaya (Benowo), Jawa Barat (Legok Nangka), Semarang (Jatibarang), dan lain-lain.
PSEL yang ada di 12 kota saat ini memiliki kapasitas 18.000 ton/hari. Jumlah itu bisa mengonversi sampah menjadi energi listrik sebesar 180-200 MW. Adapun potensi reduksi GRK-nya sebesar 4.367.426 ton CO2e di 2030.
Ketiga ialah teknologi refused derived fuel (RDF), yakni teknologi pengolahan sampah melalui proses homogenizers menjadi ukuran yang lebih kecil atau dibentuk menjadi pellet.
Dalam implementasi penurunan emisi GRK, teknologi RDF dapat mengurangi jumlah timbulan sampah yang masuk ke TPA sehingga berpotensi untuk mengurangi emisi gas metan pada TPA. Teknologi ini juga dapat menghadirkan substitusi bahan bakar batu bara/fosil yang berpotensi dapat menurunkan emisi GRK.
Adapun potensi sampah yang dapat dikelola dengan RDF kurang lebih 26.4 ribu ton/ hari. Sementara itu, potensi penurunan emisi GRK dengan teknologi RDF di Indonesia bisa mencapai 4,67 juta ton CO2e/tahun.
Keempat, pengelolaan 3R sampah kertas. Berdasarkan proyeksi sampah kertas hingga 2030, penggunaan kertas sebagai bahan baku daur ulang dengan PCR rate 12% yaitu sebesar 14,28 juta ton. Karena itu, potensi emisi GRK yang dihasilkan bisa mencapai 1,39 juta ton Co2e.
Terakhir ialah pengomposan dengan teknologi Biokonversi black soldier fly (BSF). Potensi penurunan GRK dari teknologi BSF adalah 1 ton/hari atau 401 ton CO2e/tahun.
Di sisi lain, masih ada beberapa persoalan dalam pengelolaan sampah di Indonesia. Pertama, pengelolaan sampah tidak menjadi urusan prioritas bagi pemerintah daerah. Berdasarkan UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, pengelolaan sampah menjadi urusan wajib, bukan pelayanan dasar.
Kedua, anggaran pengelolaan sampah di daerah tidak memadai. Karena tidak menjadi prioritas, anggaran yang dialokasikan pemda untuk urusan pengelolaan sampah sangat rendah, yaitu rata-rata 0,05%-0,07% dari total APBD.
Ketiga, rata-rata 41%-42% sampah di Indonesia masih diangkut dan ditimbun di landfill. Dalam hal ini, kapasitas pengolahan sampah nasional masih sangat rendah dengan masih menitikberatkan pada pemrosesan akhir.
Keempat, investasi sanitary landfill tidak menarik bagi daerah. Sebagai informasi, 66.81% TPA di Indonesia diope rasikan secara pembuangan terbuka (open dumping).
Belum lagi persoalan sosial dan kultural, yang mana berdasarkan data BPS 2018, 72% orang Indonesia tidak peduli terhadap pengelolaan sampah. Menurut Dirjen PSLB3, pemerintah telah menetapkan strategi dan melaksanakannya dalam bentuk kapasitas kebijakan dan kelembagaan, baik di tingkat lokal, pengelolaan air limbah perkotaan, mengurangi sampah di TPA dengan mempromosikan pendekatan reduce, reuse, recyle, dan pemanfaatan sampah menjadi bahan baku energi.
“Kami merasakan Surat Edaran Ibu Menteri LHK pada HPSN 2022 merupakan platform baru dalam HPSN yang digeser ke upaya-upaya kolaborasi program dengan memberikan kontribusi nyata di tengah masyarakat dalam ketahanan ekologi, ekonomi, dan sosial masyarakat,” jelasnya.
Di sisi lain, peran industri pengelolaan sampah sangat dibutuhkan agar sampah dapat diolah menjadi produk lain, seperti energi baru terbarukan (EBT). Hal ini juga sejalan dengan porsi 70% sampah yang harus dikelola agar visi Indonesia Bebas Sampah 2025 dapat terwuju....