NUSANTARA

Menenun Jadi Tradisi Turun-temurun

Rab, 23 Mar 2022

KETERAMPILAN menenun bagi perempuan di Sade dilakukan secara turun-menurun. Bahkan anak-anak, tatkala menginjak usia 10 tahun, sudah diajari cara menenun.

“Kalau di sini hampir semua menenun, dan memang wajib anak-anak perempuan diajari menenun,” kata Kepala Suku Desa Sade, Kurdap Selake.

Menurut Kurdap, dulu sebelum pariwisata berkembang di Lombok, menenun atau nyesek songket menjadi kebutuhan sehari-hari dan keperluan adat.

Kain songket tidak untuk diperjualbelikan. Sejak 1975, tatkala Sade mulai dikunjungi wisatawan dari Belanda dan pariwisata kemudian mulai dikenal, tenun Sade pun mulai banyak diproduksi dan diperjualbelikan hingga saat ini. Tenun Sade sangat diminati oleh wisatawan dari Jepang.

Seperti dijelaskan Kurdap, pekerjaan menenun kain songket memang bukan hal mudah. Setidaknya ada sembilan proses yang harus dilalui sebelum membuat songket.

Mulai dari kapas yang dijemur, tebetuk (dihaluskan), digulung kecil-kecil, kemudian dipintal dijadikan benang. Setelah itu dibaluri dengan nasi untuk pengerasan supaya benang tidak mudah putus, dijemur lagi, baru kemudian dibompok (pelurusan benang) sehingga jadi satu bentuk benang stokel.

Benang tersebut kemudian dijemur kembali, diajun (pelurusan benang), dan diberikan pewarna dari bahan alami. Pewarnaan itu antara lain kuning dari kunyit, merah dari kulit kayu lake, biru dari daun nila (taum), hitam dari nila campur kapur sirih. Adapun untuk warna hijau dari daun kecipir atau kacang panjang, serta cokelat dari sabut kelapa.

“Benang yang telah diwarnai kemudian dijemur. Setelah kering, baru bisa ditenun. Jadi wajar kalau harganya mahal,” katanya.

Menurut Kudrap, sejarah dari pembuatan songket yang benar-benar asli sematamata untuk keperluan adat dengan proses pengerjaan berlangsung lama dan rumit sehingga produksi tidak masif.

“Makanya songket asli kalau untuk kebutuhan sehari-hari tidak mungkin kita buat sebegitu lama dan rumit, terkecuali untuk kebutuhan adat. Walau begitu, ada yang dijual, tetapi tidak dipajang, melainkan disimpan di lemari. Kecuali ada yang cari, baru dikeluarkan,” kata Kurdap.

Dikatakan Kurdap, hingga saat ini produkasi tenun songket khas Sade tidak sampai diekspor ke luar. Hanya, kerap ada pesanan dalam jumlah cukup banyak dari daerah lain seperti Jakarta.

Saat ini, sebutnya, sekitar 120 penenun di Sade menjadi nasabah bank, antara lain BRI. Mereka melakukan setoran tiap minggu. “Bahkan masyarakat kami ada yang berutang ke Shopee Jakarta. Mereka diberikan pinjaman Rp2 juta hingga Rp4 juta,” ujarnya.

Seiring pengembangan Kawasan Ekonomi Khsus (KEK) Mandalika, praktis Sade termasuk desa penyangga. “Hanya saja untuk bantuan secara berkelanjutan belum ada pembinaan secara intensif. Tapi setiap ada kegiatan event kami diundang ke Mataram,” ujar Kurdap.

Memburu kain tenun Lombok khususnya di Sade sangat mengasyikkan karena wisatawan dapat sekaligus menikmati suasana tradisonal Dusun Sade. Mulai dari bentuk rumah tradisional yang mereka huni, lapaklapak yang mereka bangun, aktivitas mereka sehari-hari, hingga berbagai suguhan seni tradisional dapat disaksikan di Sade.

Sebetulnya selain di Sade, wisatawan juga bisa bertandang ke lokasi-lokasi lain seperti artshop yang sudah tersebar di banyak tempat.

Terutama di kawasan-kawasan wisata seperti Senggigi, Mandalika, dan Sentra Songket Tenun Lombok di Sukara, Sasaku.

Selain itu, sentra kerajinan tenun Sasak juga ada di beberapa lokasi lain seperti di Desa Sasak Ende, Sukarara, Pringgasela, Kabupaten Lo....

Belum selesai membaca berita ini ? Selesaikan dengan berlangganan disini Berlangganan

Advertisement

Advertisement