OPINI

Negara yang Gagal Membaca Simbol

Sel, 25 Mar 2025

DI dalam tubuh demokrasi, bahasa kekuasaan seharusnya bekerja bukan sekadar untuk menyampaikan kebijakan, melainkan juga untuk membentuk kepercayaan. Dalam setiap kalimat pejabat publik, yang terkandung bukan hanya informasi, melainkan juga posisi moral, intensi politik, dan cerminan budaya negara. Karena itulah, di tengah situasi krisis, bukan hanya keputusan yang diuji, melainkan juga cara negara berbicara.

Tanggal 19 Maret 2025 menjadi penanda penting dalam lanskap demokrasi simbolik RI. Hari itu, kantor redaksi Tempo menerima kiriman kepala babi. Tiga hari berselang, 22 Maret, mereka kembali menerima paket, kali ini berisi enam bangkai tikus tanpa kepala. Tidak ada sepatah kata pun yang disisipkan dalam kedua paket itu. Justru dalam kesenyapannya, makna dari teror itu menjadi sangat lantang. Ia bukan sekadar tindakan kriminal, melainkan kekerasan simbolis yang terstruktur, dirancang untuk mempermalukan, mengintimidasi, dan membungkam.

Kepala babi tidak datang sebagai benda mati. Dalam imajinasi kultural Indonesia--terutama bagi kelompok muslim--ia merupakan representasi dari yang najis, yang hina, yang menjijikkan. Ia merupakan simbol penghinaan paling ekstrem terhadap identitas, integritas, dan kesucian. Tikus, sebagai makhluk yang dalam banyak budaya dikaitkan dengan penyakit, kelicikan, dan kotoran, ketika dihadirkan dalam keadaan tanpa kepala, menyampaikan satu pesan tambahan: pemusnahan, pemenggalan martabat, dan penghapusan eksistensi. Bersama-sama, kedua simbol itu mengonstruksi narasi teror yang sangat dalam: ini bukan lagi soal individu, ini ialah soal serang....

Belum selesai membaca berita ini ? Selesaikan dengan berlangganan disini Berlangganan

Advertisement

Advertisement