HUMANIORA

Nilai Ekonomis Jadi Alasan Pilih BBM Bersulfur Tinggi

Kam, 17 Okt 2024

BADAN Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menilai pemanfaatan bahan bakar minyak (BBM) yang memiliki kandungan sulfur tinggi di Indonesia harus segera dikurangi. Hal ini demi memperbaiki kualitas udara menjadi lebih sehat dan baik bagi kehidupan.

Sekretaris Utama BMKG Dwi Budi Sutrisno di Jakarta, kemarin mengatakan, emisi gas buang kendaraan masih menjadi salah satu penyumbang terbesar gas rumah kaca, karena mayoritas masih menggunakan BBM bersulfur tinggi, jauh di atas 50 ppm yang menjadi standar global.

BBM bersulfur tinggi yang mayoritas digunakan di Indonesia tersebut seperti Pertalite, Pertamax, dan Solar, yang besarannya berada pada angka 500 ppm (parts per million).

Mengacu pada data dari BPH Migas sampai dengan April 2024, konsumsi BBM Pertalite mencapai 10 juta kiloliter atau 31,36% dari target 31,60 juta kiloliter sampai akhir 2024. Sementara pada periode yang sama Solar Subsidi sudah mencapai 2,57 juta kiloliter atau 300,12% dari total kuota 18,49 juta kiloliter sampai akhir 2024. “500 ppm itu tinggi. Bagaimana itu tidak memengaruhi hidup kita, yang kerap merasakan udaranya pengap seperti di Jakarta ini yang padat, jalanan macet,” kata dia.

Dwi Budi yang juga praktisi bidang transportasi darat itu mengungkapkan Indonesia sudah memiliki beberapa jenis bahan bakar yang kualitasnya juga baik untuk lingkungan seperti Pertamax Turbo/Green, Pertadex berkandungan sulfur 50 ppm. Namun jenis bahan bakar itu masih belum banyak dimanfaatkan dibandingkan jenis lain yang bersulfur tinggi, karena salah satunya alasan nilai ekonomis. “Memang berat menggunakan BBM yang kualitasnya baik untuk lingkungan. Tapi akan sangat relevan jika dibandingkan untuk kualitas kesehatan individu masyarakat dan lingkungan,” katanya.

Jakarta menjadi salah satu contoh bagaimana eratnya hubungan antara buruknya kualitas udara yang disokong emisi gas buang kendaraan dengan masalah ongkos kesehatan masyarakatnya.

Dengan laju pertumbuhan kendaraan sebesar 9% per tahun atau setidaknya ada sekitar 23 juta lebih kendaraan yang beroperasi di jalanan per hari.

Sementara itu, Pemprov DKI Jakarta melalui studi terbaru hasil pemetaan sumber emisi di sektor transportasi Jakarta mengungkapkan bahwa kendaraan berat terutama truk menjadi penyumbang (kontributor) terbesar untuk beberapa jenis polutan termasuk partikel (PM) 2.5.

Terkait data temuan ini, Asisten Pembangunan dan Lingkungan Hidup Sekretaris Daerah DKI Jakarta Afan Adriansyah Idris dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu (12/10), menyatakan hasil studi yang dihasilkan memberikan informasi mendasar guna memahami sumber polusi di Jakarta dan akan menjadi dasar pengembangan kebijakan pengendalian polusi yang tepat sasaran. “Dengan data ini, Jakarta lebih siap dalam menghadapi tantangan terkait polusi uda....

Belum selesai membaca berita ini ? Selesaikan dengan berlangganan disini Berlangganan

Advertisement

Advertisement