“DI hidup yang sedih, Bu, aku sudah berusaha menolong diriku. Aku sudah belajar memasak nasi sendiri, aku sudah mampu mencari uang sendiri, aku juga lihai menyembunyikan sedihku. Bahkan, di saat-saat terburuk dalam hidup, aku berusaha terlihat baik-baik saja.”
“Bukankah selama ini aku telah berhasil belajar darimu, Bu? Aku terbiasa memelukmu dengan ketiadaanmu di dunia. Aku terbiasa menganggapmu selalu di sisiku, meski kau jauh sekali di sisi dunia yang lain.” (Hlm 38, novel Bu, Tidak Ada Teman Menangis Malam Ini karya Boy Candra).
Setelah melahirkan buku berjudul Tulus untuk Orang yang Salah (Oktober 2022), Bertemu di Temaram (Juni 2023), Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi (November 2016), dan Malik & Elsa (2018), penulis Boy Candra hadir dengan novel berjudul Bu, Tidak Ada Teman Menangis Malam Ini. Selama ini, buku-buku Boy yang juga laris diangkat sebagai film, banyak mengandung unsur romansa.
Sedikit berbeda, novel kali ini tidak mengandung unsur romansa, tetapi lebih menyajikan kisah sehari-hari yang sarat tentang arti kehidupan. Pada awal novel, Boy menceritakan kisah hidup pria yang disebut sebagai Pak Tua.
Pak Tua tinggal bersama sang istri di Kota Padang, Sumatra Barat. Mereka berdua memiliki anak perempuan bernama Serani yang merantau di kota lain.
Pak Tua yang merupakan pensiunan dosen memiliki kebiasaan memancing ikan di muara, yang kemudian ia bawa pulang untuk dimasak dan dimakan bersama sang istri.
Sembari makan, Pak Tua dan istrinya membahas tentang saling meninggalkan satu sama lain seiring usia mereka yang menua. Namun, mereka sadar kehilangan orang yang berarti di dalam hidup merupakan rasa takut yang harus diterima dengan lapang dada mengingat tidak ada yang abadi di dunia.
Mereka juga berusaha tabah ketika Serani menelepon memberi tahu bahwa tidak mudik saat Lebaran karena ingin mencari suasana baru di perantauan. Mereka berdua sadar, cepat atau lambat, sang anak akan menjalani kehidupan yang baru.
Keesokan harinya, saat Pak Tua pergi ke makam orangtuanya, ia tidak sengaja menabrak seorang anak lelaki. Saat hendak dibawa berobat, sang anak menolak dan lari. Tanpa disadari sang anak, buku harian bersampul hitam yang ia bawa tertinggal. Pak Tua membawa buku tersebut ke rumahnya dan ia membaca buku harian bersampul hitam milik anak itu.
Ternyata buku harian itu membuatnya meneteskan air mata. Buku tersebut berisi tulisan sang anak yang ditinggal ibunya yang meninggal dunia.
Pak Tua merasa tersentuh karena tulisan tersebut mirip dengan yang ia rasakan, yakni rindu dan selalu teringat akan sosok ibunya yang sudah lama meninggal. Pak Tua mencoba mengembalikan buku itu. Sayangnya, Pak Tua tidak lagi pernah bertemu dengan sosok anak lelaki pemilik buku harian bersampul hitam tersebut.
Novel ini memiliki cerita yang sederhana dan mudah dimengerti. Boy juga mampu mengilustrasikan kondisi dan suasana yang dialami oleh para tokoh. Contohnya saat Pak Tua pergi memancing di pesisir hingga memasaknya di rumah. Penulis berusia 34 tahun ini menuliskannya dengan baik sehingga pembaca mampu mengimajinasikan apa yang dilakukan Pak Tua.
Kesederhanaan novel ini tampak dari jumlah bab yang hanya 5 bagian. Pada bagian pertama hingga ketiga menceritakan kisah Pak Tua. Bagian keempat berisi tulisan di buku harian bersampul hitam. Lalu, bagian terakhir kembali ke kisah Pak Tua dan anak laki-laki pemilik buku harian yang bernama Bendung.
Lantaran hanya 5 bagian, pembaca bisa dengan singkat melahap habis novel ini. Tidak perlu berpikir ekstra karena gaya berkisah Boy dalam buku ini mudah dicerna.
Selain menghadirkan kisah hidup Pak Tua, bagian lain yang menarik dari buku ini ialah kumpulan tulisan dan puisi di buku harian bersampul hitam. Pembaca akan tersentuh dengan tulisan seorang anak yang merindukan ibunya yang telah tiada. Hal ini akan menjadi pengingat bagi semuanya tentang sangat pentingnya sosok ibu dalam kehidupan seseorang.
Hal tersebut tergambar dalam tulisan berjudul Bu, Tidak Ada Teman Menangis Malam Ini.” “Bu, tidak ada temanku menangis malam ini, aku menenangkan air mataku sendirian. Aku mengusap dadaku sendirian. Aku menguatkan lagi diriku sendirian. Aku sering bicara kepada diriku sendiri. Lalu aku dan diriku mengenangmu untuk menguatkan diri di bumi ini.”
Pada tulisan tersebut tampak jelas perjuangan seorang anak yang hidup sebatang kara. Di saat merasa sedih dan kalut itu, ia menginginkan sosok ibu berada di dekatnya. Namun, apa daya, hanya doa dan kenangan akan ibu yang bisa menguatkan diri anak laki-laki tersebut untuk terus melangkah di dunia.
Secara umum, novel ini bisa menjadi teman untuk merenung dan cocok untuk semua orang. Pasalnya, apa yang dihadirkan di buku ini dekat dengan kehidupan sehari-hari, seperti keluarga dan orangtua.
Di samping itu, buku ini juga memberikan pelajaran tentang pentingnya sosok seorang ibu meski secara fisik tidak ada lagi di dunia ini. (M-1)