PEMERINTAH menerbitkan Peraturan Pemerintah No 28/2025 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (PBBR). Beleid tersebut diteken Presiden Prabowo Subianto pada 5 Juni 2025 dan berlaku saat aturan itu diundangkan.
Beleid tersebut merupakan penyempurnaan dari PP No 5/2021 sebagai bagian dari pelaksanaan UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja. Aturan tersebut ditujukan untuk menciptakan kemudahan berusaha dengan pendekatan berbasis risiko, menyederhanakan prosedur perizinan, serta meningkatkan kepastian hukum bagi pelaku usaha.
PP itu mengatur sejumlah sektor yang terkait Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, di antaranya kelautan, pertanian, energi, industri, perdagangan, kesehatan, transportasi, pendidikan, pariwisata, lingkungan hidup, pertahanan, dan ekonomi kreatif. Peneliti dari Center of Reform on Economics (CoRE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet, mengapresiasi semangat deregulasi pemerintah lewat terbitnya PP tersebut. Namun ia menyoroti aspek-aspek normatif yang justru berpotensi menghambat efektivitas kebijakan.
Salah satu persoalan utama yang diwarisi dari regulasi sebelumnya adalah lemahnya kejelasan dalam pengklasifikasian risiko usaha. Yusuf menekankan pentingnya transparansi indikator risiko agar tidak memunculkan interpretasi yang berbeda-beda.
“Ketika pengklasifikasian risiko (rendah, menengah, tinggi) tidak memiliki panduan teknis yang rigid dan transparan, potensi multitafsir, baik dari pelaku usaha maupun dari instansi teknis, tetap ada. Hal ini bisa membuka ruang ketidakpastian hukum,” ujarnya saat dihubungi, kemarin.
Ia juga mengingatkan, pelonggaran dalam sistem berbasis risiko bisa berujung pada pengabaian prinsip kehati-hatian, terutama dalam sektor berisiko tinggi terhadap lingkungan dan kesehatan.
“Pemerintah harus berhati- hati agar jangan sampai logika percepatan investasi justru mengorbankan aspek keberlanjutan. Terlebih pengawasan pascaperizinan belum dibentuk secara tegas dan terintegrasi dalam PP ini,” tambah Yusuf.
Sementara itu, Direktur Kebijakan Publik dari Center of Economic and Law Studies (Celios) Media Wahyudi Askar menilai revisi PP itu memang menunjukkan arah yang positif, tetapi bisa menimbulkan persoalan baru jika tidak dikelola secara komprehensif.
Salah satu poin yang ia soroti ialah penggunaan Online Single Submission (OSS) sebagai sistem utama yang masih menyisakan tantangan, terutama bagi pelaku UMKM yang belum terbiasa dengan platform digital.
Media juga menyatakan, simplifikasi prosedur justru bisa menjadi jebakan ketika terjadi percepatan yang tidak ....