PEMERINTAH Indonesia mencanangkan Proyek Nasional Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) sebagai solusi untuk mengatasi krisis sampah sekaligus mendorong transisi energi bersih. Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 35 Tahun 2018, awalnya ditargetkan pembangunan PLTSa di 12 kota, tetapi pada 2025 diperluas menjadi 33 lokasi dengan melibatkan BPI Danantara dan PLN dalam pendanaan dan operasional.
Proyek ini bertujuan mengolah 69,9 juta ton sampah per tahun, yang 60% di antaranya belum terkelola, menjadi energi listrik dengan kapasitas 20 megawatt (Mw) per kota, sekaligus mengurangi emisi metana di tempat pembuangan akhir (TPA) sampah. Namun, implementasinya masih menghadapi tantangan serius, seperti efisiensi rendah (PLTSa Putri Cempo Solo hanya menghasilkan 1,6 Mw dari 30-40 ton sampah per hari) dan risiko lingkungan akibat emisi dioksin serta limbah abu pembakaran.
Untuk mempercepat realisasi, pemerintah menyederhanakan regulasi dengan menggabungkan tiga perpres terkait dengan pengelolaan sampah dan energi, serta mengganti skema tipping fee dengan subsidi listrik yang lebih menarik bagi investor. Meski demikian, kritik dari LSM seperti Walhi menyoroti bahwa PLTSa bukan solusi berkelanjutan karena mengabaikan pendekatan zero waste dan berpotensi me....