DALAM jagat kesenian, keberadaan para seniman tradisional (etnik) kerap kali terpinggirkan. Di dalam sebuah acara pementasan, misalnya, biasanya mereka sudah datang lebih awal, tapi ujung-ujungnya tetap artis sungguhan yang diminta check sound terlebih dulu. Ruang tunggu ber-AC pun biasanya hanya diberikan untuk ‘artis’. Sementara itu, musikus tradisi, lagi-lagi cuma ‘ngemper’ sambil ngopi. Itu pun termosnya membawa sendiri.
Kondisi di atas diungkap dalam Diskusi Publik Komite Musik Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) yang bertema Seniman Etnik Kita: Antara Utopia dan Realita, di Jakarta, Selasa (3/8). Lewat tema itu, para pemantik diskusi mencoba mengurai pertanyaan, mengapa musikus/seniman tradisi di Indonesia hanya menjadi primadona ketika tampil di mancanegara.
Padahal, menurut praktisi musik Anusirwan, pertumbuhan musik tradisi dalam negeri sangat luar biasa. Banyak generasi muda yang kini mulai memperhatikan musik etnik dengan sangat baik, bahkan mau terjun di dalamnya. Mereka bahkan mau menjadikan musik tradisi sebagai profesi. Hal ini, kata Anusirwan, menjadi pertanda baik.
Pembicara lainnya, etnomusikolog, Jabatin Bangun, dalam paparannya menjelaskan tidak ada satu musik di dunia ini yang tidak berasal dari suatu tempat. Ia mencontohkan musik jazz, yang berakar dari suatu wilayah di Mississippi, Amerika Serikat. Itu menandakan tidak ada musik yang mendunia terlebi....