MASYARAKAT modern di perkotaan telah mengenal gaya hidup yang menerapkan prinsip islami, tidak hanya makanan, tetapi juga gaya berpakaian, wisata, dan bahkan perbankan. Ekonomi Islam yang berdiri di atas fondasi Al-Qur’an dan Sunah mengatur muamalah dengan prinsip kehalalan yang luwes, tetapi tegas melarang empat racun destruktif, yaitu maisir (judi), gharar (ketidakpastian yang eksploitatif), riba (bunga), dan bathil (transaksi batil).
Prinsip itu bukan sekadar larangan, melainkan guardrail ilahi yang melindungi manusia dari kerusakan jiwa dan sistemik. Namun, di tengah gemerlap sistem keuangan konvensional yang menjadikan riba sebagai nadi ekonomi, keimanan sempurna (yang seharusnya menjadi motor kepatuhan) kerap tergerus oleh tarikan instan dopamin dari kepuasan materi.
Fenomena itu tecermin pada pertumbuhan perbankan syariah yang masih tersendat meskipun Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengharamkan bunga bank sejak 2003. Migrasi massal umat Islam ke sistem perbankan syariah belum terjadi. Sebelum lahirnya Bank Syariah Indonesia (BSI) pada 2021, aset perbankan syariah terjebak dalam 5% trap yang artinya aset total seluruh perbankan syariah hanya menyumban....