CERPEN

Blijung

Min, 27 Mar 2022

“SUDAH kubilang berkali-kali, Sumi,” kata Sadun kepada adik perempuannya yang tersedu sedan di kaki pintu rumah kayunya. “Tak de faedah mengirim anak kite ke luar,” suaranya meninggi. “Batas SMP jak sekoleh. Kalau tak tertahankan hasratnye, SMA jak di Ketapang atau Sukadane. Eh, ini malah kaukuliahkan Blijung ke Ponti. Ape tak gila? Begini, kan, jadinye? Alih-alih membangun Karimate, kabar pun tak lagi ade! Sekarang … ada kabar listrik akan masuk pulau. Mane baktinye? Sudah dilibas orang si Blijung tu!”

Sumi masih menunduk dan terisak. Penyesalan dan kerinduan meletup-letup di dadanya. Ini memasuki bulan ketiga belas Blijung, anak bujang semata wayangnya yang meninggalkan Karimata sejak lima tahun lalu, tak lagi memberi kabar. Kini, ratusan mil laut yang memisahkan Pontianak dan Karimata adalah buah yang dagingnya sepat dan pahit di lidah kenyataan.

“Belum bisa balik ke Tanjung Ru, Mak,” katanya lewat surat yang dititipkan ke pengepul cumi yang sedang membeli barang kebutuhan rumah tangga di Pontianak. “Blijung me....

Belum selesai membaca berita ini ? Selesaikan dengan berlangganan disini Berlangganan

Advertisement

Advertisement